Berbagai
pandanganpun muncul terhadap pelaksanaan kawin kontrak atau mut’ah mulai dari
para imam – imam mazhab maupun dari para ulama, dimana terdapatnya perbedaan
pandangan yang dikemukakan. Ada yang menganggap jenis perkawinan tersebut
bersifat tidak sah bahkan haram hukumnya namun dalam hal ini ada juga yang
memandang bahwa pelaksanaan perkawinan tersebut tidak dilarang atau dengan kata
lain sah untuk dilakukan.
Menurut Syayid Sabiq, kawin mut’ah hukumnya haram,
apabila sampai terjadi maka seluruh imam madzhab sepakat hukumnya tetap batal.
Golongan ini mengemukakan argumentasinya dengan alasan sebagai berikut Bahwa
nikah mut’ah seperti ini tidak sesuai dengan perkawinan yang dimaksudkan oleh
Al-Qur’an, juga tidak sesuai dengan masalah thalak, iddah dan pusaka. Jadi
nikah mut’ah bathil sebagaiman bentuk-bentuk perkawinan lain yang dibatalkan
dalam Islam seperti pergundikan dan lain sebagainya Rasulullah dengan jelas
mengharamkan nikah mut’ah melalui banyak hadist- hadistnya yang secara tegas
menyebutkan keharamannya. Rasulullah SAW bersabda : “Wahai manusia! Saya telah
pernah mengizinkan kamu kawin mut’ah. Tetapi sekarang ketahuilah bahwa Allah
telah mengharamkannya sampai hari kemudian.”
Adapun yang
mempunyai pandangan bahwa nikah mut’ah dihalalkan secara mutlak datang dari
sebagian sahabat seperti : Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Asma’ binti Abu Bakar
ash-Siddiq, Jabir bin Abdullah, Mu’awiyah, Amr bin Harits, Ma’bad, Salamah dan
Abu Said Al-Khudri. Dan sebagian dari golongan tabi’in juga ada yang
menghalalkan nikah mut’ah ini, seperti : Atho’, Zaid bin Zubair, dan Tawus. Dan
masih ditambah seluruh ulama fiqh Makkah dan golongan Syi’ah Imamiyah. Golongan
ini berpedoman pada Surat An-Nisa’ ayat 24.
“Dan (diharamkan juga kamu mengawini)wanita yang bersuami, kecuali budak-
budak yang kamu
miliki) Allah telah menetapkan hukum
itu sebagai ketetapanNya atas
kamu Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian yaitu mencari isteri-isteri
dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang
telah kamu nikmati (campuri) diantara mereka, berikanlah kepada mereka
maharnya.(dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban dan tidaklah mengapa
bagi kamu terhadap
sesuatu yang kamu
telah saling merelakannya, sesudah
menentukan mahar itu.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. ” (Depag, Al-Qur’an dan Tarjamahnya,CV Jaya
Sakti,Surabaya,1984, h. 526). Menurut pandangan mereka melakukan nikah mut’ah
adalah halal sesuai dengan bunyi ayat tersebut.
Majelis Ulama Indonesia dalam fatwanya tanggal 25
Oktober 1997 menetapkan bahwa nikah mut’ah hukumnya haram, dan pelaku nikah
mut’ah dihadapkan ke pengadilan sesuai dengan peraturan perundang-perundangan
yang berlaku. Dasar pertimbangannnya adalah pertama bahwa nikah mut’ah mulai
banyak dilakukan terutama dilakukan oleh kalangan pemuda dan mahasiswa. Kedua,
praktek nikah mut’ah telah menimbulkan keprihatinan, kekhawatiran dan keresahan
bagi para orang tua, ulama, pendidik, tokoh masyarakat dan ummat Islam, serta
dipandang sebagai alat propaganda paham Syi’ah di Indonesia. Ketiga, bahwa
mayoritas umat Islam Indonesia adalah penganut paham Sunni yang tidak mengakui
dan menolak paham Syi’ah.
Kepala Madrasah Ushul Fiqh Progresif Wahid Institute
Abdul Moqsith Ghazali mengatakan ”Nikah di bawah tangan itu dianggap ilegal
oleh negara. Akibatnya, istri dan anak-anak tidak memiliki status hukum yang
jelas,”.
Adapun dalil-dalil yang menjadi dasar keharaman nikah
mut’ah adalah sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Mukminun ayat 5 dan 6
serta hadits Nabi s.a.w. yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim.
Pengharaman nikah mut’ah oleh Nabi s.a.w. disabdakan
sebanyak 2 (dua) kali, yaitu tatkala terjadi perang Khaibar pada tahun 7 Hijrah
dan kedua pada Fathu Makkah pada tahun 8 Hijrah. Dari Ali bin Abi Thalib r.a.
ia berkata kepada Ibnu Abbas r.a. bahwa Nabi s.a.w. melarang nikah mut’ah dan
memakan daging keledai jinak pada waktu perang Khaibar. Rasulullah saw pernah
bersabda : “Wahai sekalian manusia,
aku pernah mengizinkan
kepada kalian untuk melakukan nikah mut’ah, maka sekarang yang
memiliki isteri dengan cara nikah mut’ah haruslah ia menceraikannya dan segala
sesuatu yang telah kalian berikan kepadanya janganlah kalian ambil lagi, karena
Allah Azza wa Jalla telah mengharamkan nikah mut’ah sampai hari kiamat.
Hikmah dilarangnya nikah mut’ah, khususnya di kalangan
kaum Sunni adalah untuk menjaga martabat wanita itu sendiri. Dengan melihat
syarat dan rukun nikah mut’ah yang sangat ‘sederhana’, maka wanita tak ubahnya
bagai barang mainan, yang pada akhirnya dapat menjerumuskan seorang wanita
dalam lembah pelacuran terselubung. Karena wanita yang dinikahi dengan
menggunakan cara nikah mut’ah pada hakikatnya hanya untuk pemuas nafsu belaka
(bersenang- senang dalam waktu sesaat). Namun lain halnya dengan pemegang teguh
paham syi’ah, mereka menganggap hal ini menjadi sebuah anjuran para imam
pendahulu mereka dan wajib untuk ditaati. Karena di dalam agama Syi'ah nikah
mut'ah mempunyai kedudukan yang sangat tinggi dan mulia. Ibadah yang paling
afdhal dan seutama cara untuk mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah. Mut'ah
adalah rukun iman.
Dalam hal ini jelas bahwa jenis perkawinan ini hanya
semata-mata bertujuan untuk menghalalkan hubunganh seks dalam batas waktu
tertentu. Alasan bagi pendapat yang membolehkan kawin kontrah secara mutlak
ialah bahwa perkawinan itu ada yang mempunyai tujuan sementara yang disebut
dengan “nikah shugra” (nikah kecil) yang hanya semata-mata untuk menikmati
kesenangan seksual, dan ada nikah yang bersifat permanen yang disebut dengan
“nikah kubra” (niukah besar) yaitu bertujuan pernikahan yang abadi untuk
membentuk keluarga dan keturunan yang bahagia. Maka jumhur ulama memandang nikah mut’ah itu diharamkan selama-lamanya,
kebolehannya terbatas pada waktu perang fatuhu makkah, sesudah itu dilarang
oleh nabi untuk selama-lamanya dan syari’atnya sudah mansukh.
Perkawinan islam adalah perkawinan yang dapat bertahan
dan sanggup dilanjutkan kerena itu perkawinan islam bukan semata hubungan
jasmani untuk memuaskan hawa nafsu dan bersifat sementara waktu diperlukan
belaka tetapi melestarikan hidup duniawa dengan melahirkan keturunan yang
menyusul untuk menjayakan bumi dengan keinginan Allah.
Tags
Perilaku Seksual