Dasar Teori Tes BDI

Alat tes BDI awalnya dikembangkan melalui pengamatan/observasi klinis terhadap sikap dan gejala yang kerap muncul pada pasien psikiatrik yang mengalami depresi, begitu juga observasi terkait gejala yang sesekali muncul pada pasien psikiatrik yang tidak mengalami depresi. Kemudian, sebanyak 21 aitem disusun dari pengamatan tersebut dan diberi peringkat 0–3 untuk tingkat keparahannya (Jackson-Koku, 2016). Pada 1996, BDI mengalami revisi yang menghasilkan BDI-II. Melalui proses revisi tersebut alat tes BDI-II menjadi lebih kongruen dengan gejala-gejala yang terdapat pada kriteria dalam DSM-IV untuk depresi (Groth-Marnat, 2003).

Walaupun pengembangan BDI ini dilakukan melalui hasil dari observasi klinis, Beck memiliki dasar teori yang ia kemukakan sendiri terkait dengan fenomena depresi. Teori depresi yang dipaparkan oleh Beck sangat erat dengan aspek kognitif. Berikut model kognitif dari depresi oleh Beck yang dijelaskan dalam Brown (2014):

Model tersebut menunjukkan, bahwa terdapat faktor kerentanan (vulnerability/diathesis) yang meliputi keyakinan disfungsional. Saat diaktifkan oleh kejadian tertentu yang berasal dari lingkungan, seperti stres, kerentanan/keyakinan disfungsional tersebut dapat membuat seseorang rentan mengalami depresi, di mana mereka menginterpretasikan pengalamannya secara negatif dan terdistorsi. Interpretasi yang bersifat negatif tersebut dapat mengarah menuju pandangan negatif terhadap diri sendiri, dunia, dan masa depan (negative cognitive triad) (Brown, 2014).

Beck berpendapat bahwa negative cognitive triad mendasari munculnya simtom-simtom pada orang yang mengalami depresi. Aspek-aspek dalam negative cognitive triad, meliputi: (1) negative view of the self (e.g., perasaan diri tidak beguna/berharga); (2) negative view of the world (e.g., perasaan tidak puas terhadap situasinya, merasa bahwa dunia menuntut hal yang tidak masuk akal terhadap dirinya); (3) negative view of the future (e.g., pandangan pesimistik) (Brown, 2014). Beck juga berargumen bahwa pikiran-pikiran tersebut dapat terjadi secara otomatis, spontan. Kemunculannya terjadi seakan “out of nowhere,” tanpa adanya provokasi atau kesadaran yang jelas terkait penyebabnya. Seiring dengan memburuknya kondisi depresi, pemikiran tersebut semakin bersifat mendominasi, repetitif, dan intrusif, sehingga menyebabkan seseorang yang depresi sulit untuk berkonsentrasi dan terlibat dalam aktivitas normal (Brown, 2014).

Selanjutnya, faktor negative self-schema, yakni bias negatif dalam proses penerimaan informasi dapat mempertahankan keyakinan negatif yang sudah ada. Faktor tersebut membuat seseorang memroses/menginterpretasi informasi personal secara negatif dan terdistorsi. Beck meyakini bahwa interpretasi tersebut terjadi karena adanya kesalahan dalam information-processing, di antaranya terdapat 4 macam, yakni: (1) selective abstraction (fokus pada detail di luat konteks), (2) arbitrary inference (menarik kesimpulan tanpa adanya bukti yang mendukung), (3) overgeneralization (menerapkan kesimpulan terlalu luas), (4) absolutistic/dichotomous thinking (kecenderungan untuk berpikir secara dikotomis, hitam atau putih) (Brown, 2014).

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال