Iseng-iseng pagi tadi narik buku bacaan punya
suami yang tersusun, nah saya jumpa buku yang judulnya “ Aku Tahu Aku Gila” yang dibeli suami tahun 2009. Penasaraan
dengan isinya, tapi belum sempat dibaca isinya, cuma kata pengantar dari penerbitnya yang sudah saya baca. Sepertinya
isi bukunya bagus, kisah nyata dari penulis Bahril Hidayat Lubis. Pengalaman hidupnya
sewaktu mengalami psikosis (biasa kita sebut gila)
Nah ternyata buku “Aku Tahu Aku Gila” cetakan tahun 2008 ini
merupakan buku kedua dari Trilogi Memoar Gilakah Aku? Memoar pertama berjudul “Aku
Sadar Aku Gila” (Penerbit Zikrul Hakim,2007) sedangkan memoar ketiganya yang
masih dalam proses penulisan rencananya akan diberi judul Aku Bersyukur Aku Gila:Gilakah Aku?
Awalnya memoar kedua ini sebenarnya pernah
diterbitkan salah satu penerbit Jakarta awal 2007 tapi karena suatu hal, hak
publikasinya akhirnya dikembalikan pada penulis. Dan oleh si penulis akhirnya
buku ini dipercayakan pada Penerbit Pustaka Fahima untuk diterbitkan.
Memoar pertama ini disusun dalam bentuk
cerita (novel) agar lebih mudah dipahami. Memoar pertama banyak bercerita tentang kehidupan Bahril
sejak masa kecilnya di Pekanbaru sampai masa-masa kuliahnya di Universitas
Islam Indonesia, Yogyakarta, yang penuh masalah. Dalam buku ini juga
menceritakan bagaimana Bahril terkena gejala psikosis sampai kemudian sembuh.
Kesembuhan itu ternyata tidak bersifat
permanen. Dalam buku kedua ini “Aku Tahu Aku Gila” diceritakan bagaimana gejala
itu kambuh kembali. Bahril dihantui halusinasi yang sangat mengganggu. Suara-suara
bernada mengejek, bahkan mengajaknya untuk bunuh diri kerap kali datang, sampai
akhirnya Bahril memutuskan untuk menghentikan aktivitasnya sebagai dosen luar
biasa di Pekanbaru.
Sebagaimana buku pertama mengaitkan proses
penyembuhan dengan kekuatan iman (agama), pada buku kedua ini Bahril
menceritakan bagaimana metode dzikir begitu efektif sebagai terapi bagi
penyakit yang dideritanya. Dalam salah satu percakapan dengan sang Ayah, Bahril
mengatakan “ Yah, dalam sudut pandang Psikologi dan Psikiatri, obat bukanlah
suatu aspek yang menyembuhkan. Obat Cuma berfungsi menekan gejala psikosis.”
Aku beralih pada ayahku mencoba untuk menyentuh sisi rasionalitasnya. “
Sedangkan yang menyembuhkan Psikoterapi, yaitu kemampuan si pasien untuk mendidik ulang kepribadiannya
yang salah berdasarkan arahan dari terapisnya!”
Nah kisah nyata Bharil yang ditutrkannya
melalui buku ini sangat bermanfaat bagi para psikolog, dokter jiwa, para terapis,
penderita psikosis maupun keluarga penderita. Dengan menyimak apa yang dialami
Bahril beserta u[paya self teraphy-nya, kita akan sadar bahwa agama mempunyai
peran penting dalam penyembuhan penyakit jiwa. So, siapa bilang kita tidak
butuh agama?
“Saya tidak menyangka kamu akan sembuh karena
lebih sulit menyembuhkan penderita psikotik dengan potensi kecerdasan diatas
rata-rata. Potensi itu pernah kamu jadikan sebagai bentuk reaksi sikap defensif dan selalu beragumen dengan terapis. Tapi pada akhirnya kita memang harus
kembali kepada agama (ucapan dari dr. Boekit Pinandang, Sp. PD, Internis yang
pernah mengobati psikosomatis penulis).
Selamat membaca bagi yang belum membaca dan
bagi yang sudah membaca, mungkin bisa menceritakan ceritakan hikmah apa yang didapatkan dari
kisah nyata Bahril ini?!