Zat Pewarna Makanan

Zat pewarna makanan adalah zat warna yang dicampurkan kedalam makanan. Menurut Permenkes RI No. 722/Menkes/Per/IX/1988, zat pewarna makanan adalah bahan tambahan makanan yang dapat memperbaiki atau memberi warna pada makanan.
Menurut Winarno (1997), yang dimaksud dengan zat pewarna makanan adalah bahan tambahan makanan yang dapat memperbaiki atau memberi warna pada makanan. Penambahan warna pada makanan dimaksudkan untuk memperbaiki warna makanan yang berubah atau menjadi pucat selama proses pengolahan atau untuk memberi warna pada makanan yang tidak berwarna agar kelihatan lebih menarik.
Kualitas bahan makanan ditentukan antara lain oleh cita rasa, warna, tekstur dan nilai gizi. Akan tetapi sebagian besar konsumen sebelum mempertimbangkan cita rasa dan nilai gizi akan lebih tertarik pada tampilan atau warna makanan serta pengolahan bahan makanan (Saparinto, 2006).
Jenis Zat Pewarna Makanan
Secara garis besar, berdasarkan sumbernya dikenal dua jenis zat pewarna makanan yang termasuk dalam golongan bahan tambahan pangan yaitu (Hidayat, 2006):
Pewarna Alami
Banyak warna cemerlang yang dipunyai oleh tanaman dan hewan dapat digunakan sebagi pewarna untuk makanan. Beberapa pewarna alami ikut menyumbangkan nilai nutrisi (karotenoid, riboflavin, dan kobalamin), merupakan bumbu (kunir dan paprika), atau pemberi rasa (karamel) ke bahan olahannya (Cahyadi, 2009).
Pewarna makanan tradisional menggunakan bahan alami, misalnya kunyit untuk warna kuning, daun suji untuk warna hijau, dan daun jambu atau daun jati untuk warna merah. Pewarna alami ini aman untuk dikonsumsi namun mempunyai kelemahan, yakni ketersediaan bahannya yang terbatas dan warnanya tidak homogen sehingga tidak cocok digunakan industri makanan dan minuman. Penggunaan bahan alami untuk produk misal akan membuat biaya produksi menjadi lebih mahal dan lebih sulit karena sifat pewarna alami tidak homogen sehingga sulit menghasilkan warna yang stabil (Syah, 2005).
Umumnya pewarna alami aman untuk digunakan dalam jumlah yang besar sekalipun, berbeda dengan pewarna sintetis yang demi keamanan penggunaannya harus dibatasi (Yuliarti, 2007).
Pewarna Sintetis
Di negara maju, suatu zat pewarna buatan harus melalui berbagai prosedur pengujian sebelum dapat digunakan sebagai pewarna pangan. Zat pewarna yang diizinkan penggunaannya dalam pangan disebut permitted color atau certified color. Zat warna yang akan digunakan harus menjalani pengujian dan prosedur penggunaannya, yang disebut proses sertifikasi. Proses sertifikasi ini meliputi pengujian kimia, biokimia, toksikologi, dan analisis media terhadap zat warna tersebut (Yuliarti, 2007).
Proses pembuatan zat warna sintetis biasanya melalui perlakuan pemberian asam sulfat ataua sam nitrat yang seringkali terkontaminasi oleh arsen atau logam berat lain yang bersifat racun. Pada pembuatan zat pewarna organik sebelum mencapai produk akhir, harus melalui suatu senyawa antara dulu yang kadang-kadang berbahya dan seringkali tertinggal dalam hal akhir, atau terbentuk senyawa-senyawa baru yang berbahaya. Untuk zat pewarna yang dianggap aman, ditetapkan bahwa kandungan arsen tidak boleh lebih dari 0,0004 % dan timbal tidak boleh lebih dari 0,0001, sedangkan logam berat lainnya tidak boleh ada (Cahyadi, 2009).
Menurut Walford (1984), beberapa keuntungan penggunaan zat pewarna sintetis adalah:
  1. Aman
  2. Tersedia dalam jumlah yang memadai
  3. Stabilitas bagus
  4. Kekuatan mewarnai yang tinggi menjadikan zat pewarna sintetis menguntungkan secara ekonomi
  5. Daya larut bagus dalam air dan alkohol
  6. Tidak berasa dan tidak berbau
  7. Tersedia dalam berbagai bentuk
  8. Bebas bakteri
Berdasarkan kelarutannya, pewarna sintetis terbagi atas dua golongan yaitu (Cahyadi, 2009):
  1. Dyes, adalah zat pewarna yang umumnya bersifat larut dalam air, sehingga larutannya menjadi berwarna dan dapat digunakan untuk mewarnai bahan. Pelarut yang dapat digunakan selain air adalah propelin glikol, gliserin, atau alkohol, sedangkan dalam semua jenis pelarut organik, dyes tidak dapat larut.
  2. Lakes, adalah zat pewarna yang dibuat melalui proses pengendapan dan absorpsi dyes pada radikal (Al atau Ca) yang dilapisi dengan aluminium hidrat (alumina). Lapisan alumina ini tidak larut dalam air, sehingga lakes ini tidak larut pada hampir semua pelarut.
Zat Pewarna Makanan yang Diizinkan
Di Indonesia, peraturan mengenai penggunaan zat pewarna yang diizinkan dan dilarang untuk pangan diatur melalui Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 722/Menkes/Per/IX/1988 tentang bahan tambahan pangan.
Dampak Zat Pewarna Makanan Terhadap Kesehatan
Pemakaian zat pewarna makanan sintetis dalam makanan walaupun mempunyai dampak positif bagi produsen dan konsumen, diantaranya dapat membuat suatu makanan lebih menarik, meratakan warna makanan, dan mengembalikan warna dari bahan dasar yang hilang atau berubah selama pengolahan, ternyata dapat pula menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan dan bahkan memberikan dampak negatif terhadap kesehatan manusia.
Menurut Cahyadi (2009), beberapa hal yang mungkin memberikan dampak negatif tersebut terjadi apabila:
  1. Bahan pewarna sintetis ini dimakan dalam jumlah kecil, namun berulang.
  2. Bahan pewarna sintetis dimakan dalam jangka waktu yang lama.
  3. Kelompok masyarakat luas dengan daya tahan yang berbeda-beda yaitu tergantung pada umur, jenis kelamin, berat badan, mutu makanan sehari-hari dan keadaan fisik.
  4. Berbagai lapisan masyarakat yang mungkin menggunakan bahan pewarna sintetis secara berlebihan.
  5. Penyimpanan bahan pewarna sintetis oleh pedagang bahan kimia yang tidak memenuhi persyaratan.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال