Kecerdasan Emosi Pada Anak Yang Orangtuanya Bercerai

Perceraian yang diartikan sebagai suatu reaksi terhadap hubungan pernikahan yang tidak berjalan dengan baik dan bukan merupakan suatu ketidaksetujuan terhadap lembaga perkawinan, seringkali dianggap sebagai kegagalan yang dialami suatu keluarga (Spanier & Thompson, 1984 ; Holmes & Rahe, 2005). Perceraian merupakan penyebab stres kedua paling tinggi, setelah kematian pasangan hidup. Akibat dari perceraian biasanya juga memunculkan ketegangan dan ketidakbahagiaan yang dirasakan oleh semua anggota keluarga (Erna, 1999). Pada anak-anak, peristiwa ini kemungkinan dapat membuat anak–anak merasa tidak mendapatkan perlindungan dan kasih sayang dari orang tuanya.
Menurut Fauzi (2006), perceraian dalam keluarga manapun merupakan peralihan besar dan penyesuaian utama bagi anak-anak yang akan mengalami reaksi emosi dan perilaku karena “kehilangan” satu orang tua. Bagaimana anak bereaksi terhadap perceraian orang tuanya sangat dipengaruhi oleh cara orang tua berperilaku sebelum, selama dan sesudah perpisahan. Anak akan membutuhkan dukungan, kepekaan dan kasih sayang yang lebih besar untuk membantunya mengatasi kehilangan yang dialaminya selama masa sulit ini. Mereka mungkin akan menunjukkan kesulitan penyesuaian diri dalam bentuk masalah perilaku, kesulitan belajar, atau penarikan diri dari lingkungan sosial.
Sebuah kutipan dari http://www.psikologizone.com, menjelaskan bahwa tahun pertama perceraian merupakan masa krisis yang paling sulit. Orangtua dari waktu ke waktu kemungkinan akan memperlihatkan sikap kasar terhadap anaknya. Namun setelah dua tahun situasi mulai pulih kembali. Pada anak-anak keluarga retak, aktivitas fisiknya menjadi lebih agresif untuk tahun pertama. Namun tahun berikutnya anak-anak ini kurang menampilkan kegirangan, mereka lebih diselimuti perasaan cemas. Setelah dua tahun berlalu, anak ini masih memperlihatkan aktivitas fisik yang menurun. Tetapi sebaliknya, aktivitas bahasa lebih agresif. Gejala ini tampak pada pergaulan dengan teman dan teman yang berusia lebih kecil darinya. Meski anak ini agresif dalam berbicara namun ia tidak stabil, goyah. Mereka melakukan sesuatu tanpa suatu motivasi jelas dan efektif, juga emosi tidak terkontrol.
Anak-anak juga perlu diyakinkan bahwa mereka tidak dapat dipersalahkan atas perpisahan atau perceraian tersebut. Tanpa bantuan dari orangtua, mereka sering menyalahkan diri sendiri dan rasa bersalah ini dapat mengurangi kepercayaan diri mereka dan membuat mereka merasa seperti anak-anak yang buruk. Anak-anak sering kehilangan rasa hormat terhadap salah satu atau kedua orang tua selama perceraian. Pada anak usia sekolah, mereka mungkin mengalami kesedihan, malu, dendam, dan kemarahan yang intens. Konflik perkawinan mempengaruhi anak di sekolah dan meningkatkan kerentanan anak terhadap penyakit.
Pada umumnya bila orang tua saling mendukung dan mengerti, maka berkembanglah kecerdasan emosi anak mereka. Menurut Cooper dan Sawaf (dalam Mu’tadin, 2002) menyatakan bahwa kecerdasan emosi adalah kemampuan merasakan, memahami, dan secara selektif menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi dan pengaruh yang manusiawi. Kecerdasan emosi menuntut penilikan perasaan, untuk belajar mengakui, menghargai perasaan pada diri dan orang lain serta menanggapinya dengan tepat menerapkan secara efektif energi emosi dalam kehidupan sehari-hari.
Kemungkinan pada anak dengan kecerdasan emosi tinggi, anak menjadi mengerti perbedaan antara yang “baik” dan yang “buruk”, dapat mengembangkan sikap menolong, ramah, dan pemaaf, serta melatih kejujuran. Tapi, anak-anak yang terus-menerus terkena permusuhan orang tua mereka barang kali akan menghadapi resiko-resiko yang parah akibat dari perceraian orangtuanya. Seperti anak menyalahkan dirinya sendiri atas perceraian tersebut, mendapat lebih banyak mimpi buruk, dan menunjukkan tanda kesedihan dan kemurungan karena ketidakhadiran satu orang tua.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال