EKSIS DALAM KESEDERHANAAN

Analisis eksistensi kebutuhan dalam pandangan budaya (Urang Kanekes dan Tau Kajang)
Urang Kanekes
Urang Kanekes atau orang Badui selama berabad-abad hingga sekarang berhasil memproteksi budaya mereka dari pengaruh budaya luar, dan mempertahankan cara hidup mandiri dan tradisional. Segala sesuatu harus diproteksi, mulai dari cara berpakaian, penggunaan peralatan, pendidikan, dan lain-lain. Hampir bisa dikatakan bahwa Urang Kanekes menolak gaya hidup “modern”.Kepercayaan Urang Kanekes yang disebut sebagai Sunda Wiwitan berakar pada penghormatan kepada roh nenek moyang (animisme) yang pada perkembangan selanjutnya juga dipengaruhi oleh agama Buddha, Hindu (Djajadiningrat dalam Ekadjati, 1995).Konsep inti kepercayaan tersebut ditunjukkan dengan adanya pikukuh atau ketentuan adat mutlak yang dianut dalam kehidupan sehari-hari orang Kanekes (Garna, 1993). Isi terpenting dari 'pikukuh' (kepatuhan/ ketentuan adat mutlak) Kanekes tersebut adalah konsep "tanpa perubahan apa pun", atau perubahan sesedikit mungkin. Bagi Urang Kanekes yang secara mayoritas mencerminkan pola patrilineal, adanya figur yang bisa dijadikan pegangan menjadi sangat penting. Figur tersebut harus dapat mencerminkan tokoh yang dikagumi dan bisa dipercaya, yang antara lain bisa dilihat dari sikap dan perilakunya dalam kehidupan keseharian sebagai pribadi maupun dalam melaksanakan tugasnya. Perintah adat yang dibebankan kepada ketua adat tertinggi (puun) urang Kanekes ini, menegaskan bahwa:“gunung tak boleh dirusak, lembah tak boleh dihancurkan, Larangan tak boleh dilanggar, perintah leluhur tak boleh diubah, yang panjang tak boleh diperpendek, yang pendek tak boleh diperpanjang”.Keyakinan kuat Urang Kanekes dalam menjaga budaya tradisional mereka didukung oleh keyakinan mereka bahwa Kenekes merupakan wilayah pusat tanah Jawa (Prihartoro, 2006: 17; Ekajati, 1995: 70).
Seorang pelanggar pikukuh harus mengikuti upacara pembersihan dan setelah itu “dibuang” dari daerah Badui Dalam ke daerah Badui Luar.Ciri khas pakaian mereka adalah ikat kelapa putih (orang Badui Dalam) atau ikat kepala biru tua/hitam (untuk Badui Luar), baju warna putih atau biru tua, dan tanpa alas kaki. Kaum perempuan menggunakan sarung batik biru, kemben biru, baju luar putih berlengan panjang. Gadis-gadis menggunakan gelang dan kalung dari manik.Penggunaan peralatan juga diproteksi seperti HP, transportasi, perlatan rumah tangga dan lain-lain. Mereka menggunakan peralatan sehari-hari dengan membuatnya secara mandiri. Pendidikan masih dianggap tabu oleh Urang Kanekes, sehingga di suku Badui dalam tidak ada bangunan sekolah yang berdiri. Urang Kanekes dalam pandangan orang modern terlihat terisolir dan “terbelakang” dari budaya sekitarnya. Larangan untuk masuk desa tradisional Badui untuk orang asing adalah karena faktor sejarah yaitu perjanjian dibuat oleh nenek moyang mereka dengan Belanda. Ini menyimpulkan bahwa masyarakat Badui adalah masyarakat yang memahami pluralitas budaya.
Urang Kanekes hidup mandiri dalam kesederhanaan dengan budaya mereka sendiri. Walau tidak ada peralatan mewah, dan tanpa pendidikan formal bukan berarti mereka hidup melarat dan tak beradab. Budaya mereka efektif dalam menangkal serbuan budaya modern. Pengaruh negative yang dibawa budaya modern tidak menjangkiti mereka. Cara mereka memaknai hidup, bergaul dengan alam dan hidup bermasyarakat, ketenangan, kedamaian dan kesederhanaan adalah kekayaan tersembunyi Urang Kanekes.
Tau Kajang
Tau Kajang atau Orang Kajang atau Komunitas Adat Ammatoa terkenal dengan prinsip hidup mereka sesuai dengan “pappasang3. Hidup terisolir tanpa warna. Di Kajang dalam, tidak akan ditemukan peralatan yang bermesin, mulai dari mobil, motor, televisi dan lain-lain. Tidak ada jaringan listrik yang saat ini menjadi warna dan kebutuhan wajib budaya modern. Aturan adat yang kental, dari cara mereka hidup sosial, gaya hidup dan kepercayaan, semuanya terangkum dalam pappasang. Semua budaya yang tidak sesuai dengan pappasang sudah tentu akan mereka tolak. Pappasang mengatur bagaimana Tau Kajang dalam beraktivitas, memperlakukan alam, berinteraksi dengan dunia luar, serta mengatur agama dan kepercayaan. Semua perilaku Orang Kajang harus sesuai dengan Pappasang. Jika melanggar mereka akan dikenai sanksi adat.
Dalam penilaian subjektivitas oleh masyarakat modern, hidup dalam lingkungan adat tersebut yang jauh dari pengaruh globalisasi, dan hidup terisolasi dalam lingkupan budaya adat itu adalah suatu kemisikinan. Namun Orang Kajang mempersepsi dirinya secara berbeda. Orang Kajang dalam keseharian mempraktekkan hidup “kamase-masea”. Kamase-masea (hidup bersahaja) adalah kunci dan tujuan hidup mereka. Berbeda dengan budaya modern, yang mengejar kesuksesan (Pendidikan, harta, jabatan, pengakuan dsbnya) yang merupakan sumber konflik dan kehancuran, yang menanggap dirinya beradab Orang Kajang memiliki pandangan beradab tersendiri. Dengan prinsip kamase-masea, semua sumber konflik menjadi tidak ada. Hidup bersahaja, membuat Tau Kajang tidak mengeskploitasi, mereka hidup selaras dengan alam, mengikuti pappasang.
Kebutuhan dan Kesederhanaan
Kebutuhan (need) adalah dasar dan pendorong sebuah tindakan. Kebutuhan tidak pernah berhenti selama manusia hidup, kebutuhan yang sudah terpenuhi, akan berlanjut pada kebutuhan selanjutnya dan akan terus berubah.
Kebutuhan adalah sebuah konstruk yang menunjukkan sebuah dorongan dalam wilayah otak yang mengatur berbagai proses seperti persepsi, pikiran, dan tindakan dengan maksud untuk mengubah kondisi yang ada dan tidak memuaskan (Murray, 1938). Sedangkan menurut Maslow (1970), kebutuhan manusia berbentuk hirarki mulai dari kebutuhan fisiologis, hingga aktualisasi diri. Berbeda dengan pendapat maslow, Gardner Murphy mengklasifikasikan kebutuhan menjadi 4 dasar, yaitu: pertama kebutuhan dasar, kebutuhan akan kegiatan, kebutuhan sensori, dan yang terakhir adalah kebutuhan untuk menolak akan suatu hal yang tidak sesuai dengan kehendak pribadi (Gardner Murphy, 1990).
Dari ketiga definisi kebutuhan tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa kebutuhan adalah sebuah dorongan dari dalam diri seseorang. Kebutuhan ini didasari ketidakseimbangan sehingga seseorang berusaha untuk memenuhi titik keseimbangan itu. Pemenuhan kebutuhan akan berinteraksi dengan lingkungan sekitar, baik alam, sosial yang mengharuskan seseorang berinteraksi dengan komunitasnya. Proses pemenuhan kebutuhan/intraksi dengan lingkungan berbeda-beda untuk setiap budaya. Budaya mengatur bagaimana sebuah kebutuhan dipenuhi tanpa adanya pelanggaran terhadap aturan budaya.
Berikut ini kami akan mengulas hubungan Kebutuhan dan Kesederhanaan (seperti dua ilustrasi budaya sebelumnya, Orang Kanekes dan Orang Kajang) dengan membandingkan dengan teori- teori kebutuhan yang sudah mapan.
Kesederhanaan adalah sikap dan perilaku bersahaja, tidak berlebihan, tidak banyak seluk belum, tidak banyak pernik, lugas dan apa adanya, hemat sesuai kebutuhan dan renah hati (Kemendikbud, 2013). Hidup sederhana berarti membebaskan segala ikatan yang tidak di perlukan. Berbeda dengan kemiskinan, kesederhanaan merupakan suatu pilihan, keputusan untuk menjalani hidup yang berfokus pada apa yang benar-benar berarti (Al-Muhasibi, 2006).
Kesederhanaan adalah sebuah pilihan bagaimana bersikap, berperilaku yang tidak berlebihan, dan lebih memilih bersahaja. Dalam pandangan orang awam, kesederhanaan lebih mendekati kemiskinan.
Kajian “Kebutuhan dan kesederhanaan”, dua konstruk yang sekilas saling kontradiktif. Jika melihat definisi kesederhanaan pada dua budaya di atas, sebuah kebutuhan dipenuhi dengan cara-cara yang tidak berlebihan, dan sesuai dengan tradisi dan budaya. Artinya bahwa ada beberapa kebutuhan yang direpres, atau tidak dapat dipenuhi. Kebutuhan yang terpenuhi pun bukan untuk dipuaskan, karena harus disesuaikan dengan aturan budaya.
Dalam konsep budaya Barat, berdasarkan beberapa teori yang sudah mapan, kebutuhan menciptakan sebuah ketidakseimbangan dan harus terpenuhi. Konsep ini berlawanan dengan konsep kebutuhan pada beberapa budaya di Timur.
Teori budaya di Barat menafikan hubungan kebutuhan dan kesederhanaan. Ada beberapa teori kebutuhan dalam psikologi/barat. Diantaranya adalah Teori kebutuhan Abraham Maslow (Calvin, 2007), yang dikenal dengan Hierarchy of Need.
Kebutuhan menurut Maslow, selalu berubah sesuai dengan hirarkinya. Orang akan selalu berjuang untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut dan berusaha untuk mencapai level tertinggi. Puncak tertinggi dari kebutuhan menurut Maslow adalah self-actualization.
Aktualisasi diri merupakan kebutuhan yang merdeka/bebas, karena di tingkat ini manusia tidak lagi disibukkan dengan kebutuhan lain, jika orang sudah mencapai level aktualisasi diri ini. Pada orang-orang yang masih berada di hirarki kebutuhan bawah adalah orang-orang yang tidak bebas dan tidak merasakan kebahagiaan yang paripurna (lengkap).
Pada Orang Kanekes & Orang Kajang, kebutuhan mereka tercermin pada cara mereka memenuhi kebutuhan, yang disesuaikan dengan adat. Dorongannya tidak berorientasi semata pada kebutuhan, tetapi pada kesesuaian tingkah laku mereka dengan pemenuhan kebutuhan tersebut.
Murray (Schultz, 1994) mengatakan bahwa orang bekerja untuk memenuhi kebutuhan. Kebutuhan adalah drive (dorongan). Konsep pemenuhan kebutuhan hubungan kebutuhan menurut Murray adalah:
Secara garis besar, hubungan kebutuhan dan dorongan menurut Murray sebagai berikut:
  1. Tension Reduction (Peredaan tegangan). Tiap kebutuhan manusia menimbulkan tegangan, Ketegangan akan mereda setelah kebutuhan tersebut terpenuhi.
  2. Need (Kebutuhan). Kebutuhan merupakan pemikiran untuk mengubah kondisi yang tidak memuaskan. Need atau kebutuhan adalah suatu konstruk hipotetis yang berakar pada fisiologis, yang melibatkan dorongan psikokimia di otak yang mengatur dan mengarahkan kemampuan intelektual dan perceptual. Murray menyatakan ada 20 kebutuhan mendasar manusia, meskipun tidak semua orang memiliki keseluruhan need ini. Beberapa need di alami dalam periode tertentu, ada juga need yang tidak pernah dirasakan seseorang seumur hidupnya. Beberapa need saling mendukung, dan beberapa need bertentangan satu sama lain. Need-need murray antara lain (Abasement, Achievement, Affilation, Aggression, Autonomy, Counteraction, Defendance, Deference, Dominance, Exhibition, Harm avoidance, Inavoidance, Nurturance, Order, Play, Rejection, Sentience, Sex, Succorance, & Understanding)
  3. Pressure (Tekanan). Tekanan adalah bentuk penentu tingkah laku yang berasal dari individu. Dibagi menjadi dua yaitu tekanan alpha dan tekanan beta. Perbedaan yang besar antara fenomena (alpha) dengan reaksi seseorang (beta) sering menimbulkan gangguan psikologi.
Interaksi dinamis antara kebutuhan (Needs) dengan Pressure akan menyebabkan terjadinya konflik, kecemasan, dejection dan perubahan emosional.
Dari kedua teori kebutuhan Maslow dan Murray, kita tidak mendapatkan sama sekali hubungan antara kebutuhan dan kesederhanaan. Konsep pemenuhan kebutuhan Maslow dan Murray adalah pemuasan atas kebutuhan. Jika hirarki Maslow, mengganggap bahwa proses pemenuhan kebutuhan dilevel bawah tidak dapat menunjukkan “kebahagiaan”, sedangkan pada Murray kebutuhan manusia tidak pernah habis, dan jika kebutuhan itu tidak terpenuhi menyebabkan ketidak-abnormal (konflik, kecemasan, dejection, perubahan emosional). Dari kedua teori ini, menanggap bahwa kesederhaan merupakan hal yang mustahil ada dalam pemenuhan kebutuhan manusia. Untuk memenuhi kebutuhan perlu perjuangan, dan jika kebutuhan tersebut tidak terpenuhi, maka orang tersebut tidak naik level atau menjadi sakit.
Erich Fromm (Calvin, 2007) berpendapat bahwa semua manusia didorong oleh kebutuhan- kebutuhan. Orang-orang normal memuaskan kebutuhan secara produktif sedangkan orang sakit memuaskan kebutuhan secara irasional.
Dalam budaya barat kebutuhan dipenuhi untuk meredakan ketegangan (Murray), untuk mencapai aktualisasi diri (Maslow) dan untuk tetap produktif, yang pada dasarnya mendorong manusia untuk tetap eksis dan sehat. Pada budaya timur (contoh Orang Kanekes dan Orang Kajang) justru pemenuhan kebutuhan harus diselaraskan dengan lingkungan sekitar, bukan berorientasi pada pemenuhan kebutuhan tetapi cara memenuhi kebutuhan tersebut. Budaya menjadi penyeleksi sebuah kebutuhan.
Menurut Syarbini (2015) Kearifan Lokal Suku Badui Banten, tercermin pada nilai-nilai bahwa Orang Kanekes peduli lingkungan, Suka bekerjasama, Ketaatan pada hukum, kesederhanaan dan kemandirian, demokratis, dan pekerja keras dan jujur. Budaya Badui menjaga hubungan yang selaras dan harmoni dengan lingkungannya. Pada proses pemenuhan kebutuhan, dilakukan secara kolektif, sesuai dengan aturan adat, jujur, dan tidak berlebih-lebihan.
Pada Orang Kajang tidak mengenal adanya tingkatan sosial karena konsep tau kamase-masea yang mereka anut mengajarkan untuk tidak sombong dan bersikap sederhana (Satriani, 2017). Budaya barat yang individualis, mengejar tuntutan kebutuhan dengan cara bersaing, sedangkan budaya Timur lebih mengutamakan kerja sama, untuk mencapai kebutuhan secara kolektif.
Berikut ini rangkuman perbedaan pemenuhan kebutuhan budaya Barat dan Timur (Maslow, Erich Fromm dan Murray vs Urang Kanekes dan Tau Kajang):
  1. Sebuah Kebutuhan dalam pandangan barat harus tercapai. Jika tidak, akan menyebabkan ketegangan/keabnormal. Pada Budaya Timur, tidak semua kebutuhan harus terpenuhi, dan kebutuhan bisa direpres dengan mempertimbangkan boleh tidaknya kebutuhan tersebut dipenuhi (aturan budaya).
  2. Ukuran sebuah kebutuhan terpenuhi atau tidak dalam budaya Barat adalah puas. Pada budaya Timur, ukurannya adalah secukupnya (sesuai kebutuhan, dan budaya sebagai ukurannya). Pemenuhan kebutuhan dalam budaya Barat adalah Puas, sehingga dampaknya adalah eksploitasi. Budaya Timur, ukuran pemenuhan kebutuhan adalah secukupnya, disesuaikan dengan lingkungan dan budaya.
  3. Cara pemenuhan kebutuhan di Barat lebih Individualis, di Timur lebih kolektif.

Gaya hidup sederhana merupakan salah satu budaya Timur yang jarang ditemukan di Barat. Hidup Sederhana tidak sama dengan kata “humble” yang artinya negatif jika dalam budaya Timur. Hidup sederhana adalah hidup secukupnya, bersahaja (tapi tidak miskin), baik dalam bidang ekonomi maupun dalam berperilaku.
Kebutuhan dan Eksistensi
Filsafat Eksistensialisme menyatakan bahwa, existence (keberadaan) muncul karena adanya kecemasan. Existence hadir sebagai jawaban atas kecemasan itu. Kecemasan muncul karena adanya keinginan atau kebutuhan yang tidak terpenuhi/tersalurkan (Bertens, 2016). Sehingga kebutuhan dan eksistensi merupakan dua konstruk yang saling terkait. Eksistensi merupakan sebuah pilihan antara sikap negatif dan positif terhadap sesuatu. Yang dimaksud eksistensi disini adalah sebuah sikap yang tidak bertentangan antara pilihan pribadi dan sosialnya.
Aldelfer (1972) dalam teori ERG (Existence, Relatedness, Growth) yang merupakan pengembangan klasifikasi hirarki kebutuhan dari teori Maslow, menyatakan bahwa (a) bila kebutuhan akan eksistensi tidak terpenuhi, pengaruhnya mungkin kuat, namun kategori- kategori kebutuhan lainnya mungkin masih penting dalam mengarahkan perilaku untuk mencapai tujuan (Frustration – Regression), (b) meskipun suatu kebutuhan terpenenuhi, kebutuhan dapat berlangsung terus sebagai pengaruh kuat dalam keputusan (Satisfaction – Progression).
Bagaimana hubungan kebutuhan dan eksistensi dalam psikologi lintas budaya? Pada pembahasan sebelumnya sudah dijelaskan mengenai kebutuhan dan kesederhanaan. Budaya Barat, sebuah kebutuhan sebagai sebuah drive untuk mencapai aktualisasi diri (Maslow). Kebutuhan-kebutuhan yang terpenuhi membuat seseorang menjadi seimbang (Murray), jika kebutuhan tersebut tidak terpenuhi akan membuat konflik, kecemasan dan perubahan emosional atau dalam istilah psikoanalisas individu tersebut bisa membentuk defense mechanism (Bertend, 2016).
Dalam budaya Timur, pemenuhan kebutuhan harus diselaraskan dengan aturan budaya. Kebutuhan adalah aspek psikologis dasar yang menjadi dorongan untuk berbuat memenuhi kebutuhan tersebut, tetapi terdapat aturan budaya yang mengharuskan pemenuhan kebutuhan selaras dengan aturan-aturan yang ada. Kebutuhan yang tidak sesuai dengan aturan budaya akan dieliminasi atau direpres atau dialihkan kebentuk lain. Perilaku pemenuhan kebutuhan yang muncul dan tidak sesuai dengan budaya akan menjadi maladaptif dibudaya tersebut. Perilaku seseorang yang maladaptif, membuatnya tidak akan eksis.
Berikut gambaran hubungan kebutuhan dengan eksis tidaknya sebuah perilaku di Barat vs Timur:
Tabel di atas sedikit menggambarkan bahwa, pemenuhan kebutuhan yang eksploitasi, tidak terkendali (hanya berorientasi pada hasil), dan sifatnya pribadi tidak akan eksis di budaya Timur. Budaya Timur mengutamakan kesederhanaan dalam pemenuhan kebutuhan. Hidup dalam kesederhaan dengan budaya sebagai katalisatornya.

Kesimpulan:
Psikologi Indigenus menurut Prof. Kusdwiratri Setiono, merupakan psikologi yang appropriate (cocok; tepat; pantas) untuk setiap budaya yang ada di negara manapun. Kim & Berry (1993) memberi contoh mudah untuk proses indigenisasi ini. Isu buta-huruf, kemiskinan, pembangunan nasional, dan psikologi desa, adalah isu yang tepat untuk India, tetapi belum tentu tepat untuk negara Industri (baca: negara maju).
Gaya hidup ‘modern’ yang diperkenalkan Barat yang menyangkut pilihan pekerjaan, kesibukan, makanan, mode pakaian, dan kesenangan telah mengalami perubahan, dengan kepastian mengalirnya pengaruh kota-kota besar terhadap kota-kota kecil, bahkan sampai ke desa tidak dapat eksis, bahkan bertolakbelakang dengan gaya hidup sederhana pada Orang Kanekes & Orang Kajang yang setia pada adat budaya Timur.
Secara psikologis kondisi perubahan peta kognitif, pengembangan dan kemajemukan kebutuhan, pergeseran prioritas dalam tata nilai modern menjadi tidak berlaku bagi Orang Kanekes & Orang Kajang.
Perbedaan konsep pemenuhan kebutuhan Barat vs Timur, terletak pada cara memenuhi kebutuhan. Di Barat, kebutuhan harus terpenuhi dan terpuaskan, jika tidak akan menimbulkan ketidakabnormalan. Budaya Timur menjadikan budaya sebagai ukuran pemenuhan kebutuhan, tidak semua kebutuhan harus terpenuhi. Kebutuhan yang tidak sesuai dengan Budaya, harus direpres. Budaya Timur menjadi katalisator sebuah kebutuhan. Beberapa kebutuhan jika tidak terpenuhi, di Timur adalah hal yang lumrah, tetapi di Barat dapat menjadi abnormal.


References:
Bentens,K., (2016). Psikoanalisis Sigmound Freud. Jakarta. Gramedia Pustaka Utama
Garna, Y. (1993). Masyarakat Baduy di Banten, dalam Masyarakat Terasing di Indonesia, Editor: Koentjaraningrat & Simorangkir, Seri Etnografi Indonesia No.4. Jakarta: Departemen Sosial dan Dewan Nasional Indonesia untuk Kesejahteraan Sosial dengan Gramedia Pustaka Utama.
Hall, Calvin S. at all (2007). Teori-teori Holistik (organismik-fenomenologis). Yogyakarta : Kanisius
Hall, Calvin S. at all (2007). Teori-teori Psikodinamik (Klinis). Yogyakarta : Kanisius
Satriani (2017). Studi Kawasan Adat Ammatoa Kajang Sebagai Kawasan Strategis Pemukiman Adat Provinsi Sulawesi Selamatan. Skripsi. UIN Alauddin Makassar
Syarbani, Amirulloh (2015). Kearifan Lokal Baduy Banten. Jurnal Refleksi. Vol. 14, No.1

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال