SOCIO CULTURAL & SUBJECTIVE WELL-BEING


Pada dasarnya semua orang menginginkan kebahagiaan. Kebahagiaan merupakan hasil dari wujud keinginan yang tercapai. Walaupun tidak semua kebahagiaan merupakan hasil akhir sebuah proses, kebahagiaan bisa muncul selama menjalani sebuah proses. Kebahagiaan tidak bisa dipisahkan dengan kepuasan. Kebahagiaan (heppiness) dan kepuasan (satisfaction) merupakan penilaian yang bersifat subjective terhadap diri. Kedua konsep ini biasanya diasosiasikan dengan istilah well-being (karena bersifat personal, maka biasa disebut Subjective well-being (SWB)).
Budaya merupakan sistem aturan, kebiasaan dan kaidah yang bersifat dinamis yang merupakan kumpulan individu yang saling berinteraksi, saling mempengaruhi, didalamnya terdapat sistem nilai, sikap, kepercayaan, norma dan perilaku. Dengan adanya perbedaan budaya, membuat konsep-konsep nilai, sikap, kepercayaan, norma dan perilaku berbeda. Demikian pula dengan konsep SWB.

A.   DEFINISI SUBJECTIVE WELL-BEING
Diener, Kahneman, dan Schwarz (dalam Ed Diener & Scollon, 2003) Subjective well-being adalah evaluasi subjektif masyarakat terhadap hidup individu, yang meliputi konsep seperti kepuasan hidup, emosi yang menyenangkan, perasaan pemenuhan, kepuasan dengan domain seperti perkawinan, pekerjaan dan tinggi rendahnya situasi emosi. Dengan demikian subjective well-being merupakan istilah umum yang mencakup berbagai konsep yang terkait pada bagaimana orang merasakan dan berfikir tentang kehidupan mereka.
Subjective well-being dari Russell (2008) adalah persepsi individu terhadap kehidupannya, atau pandangan subjektif individu terhadap pengalaman hidupnya. Diener et al. (2002, dalam Diener, Scollon, Lucas, 2003) menemukan bahwa orang-orang yang bahagia cenderung menitikberatkan domain-domain terbaik dalam kehidupan mereka, sedangkan orang-orang yang tidak bahagia cenderung lebih menitikberatkan pada domain-domain terburuk dalam kehidupan mereka. Karena itu, kepuasan ranah kehidupan tidak hanya dapat mencerminkan bagian-bagian komponen dari sebuah penilaian kepuasan hidup, tetapi juga dapat menyediakan informasi yang unik mengenai keseluruhan well-being seseorang.
Beberapa definisi yang telah dikemukakan tersebut, maka dapat diartikan bahwa subjective well-being adalah suatu ungkapan perasaan individu mengenai kehidupannya didalam berbagai keadaan yang terjadi dan dialami, baik itu dilihat berdasarkan kebahagiaan dan kepuasan dalam hidup.

B.   DIMENSI SUBJECTIVE WELL-BEING
Tov & Diener (2007), bahwa SWB sering melibatkan emosi yang menyenangkan, emosi yang tidak menyenangkan, dan kepuasan hidup (life satisfaction). Emosi masuk dalam ranah afektif dan kepuasan hidup (life satisfaction) adalah ranah kognitif.
Unsur-unsur Subjective Well-Being adalah sebagai berikut:
  1. Dimensi Afektif (Emosi menyenangkan dan tidak menyenangkan). Dimensi dasar dari subjective well-being adalah afek, di mana di dalamnya termasuk mood dan emosi yang menyenangkan dan tidak menyenangkan. Orang bereaksi dengan emosi yang menyenangkan ketika mereka menganggap sesuatu yang baik terjadi pada diri mereka, dan bereaksi dengan emosi yang tidak menyenangkan ketika menganggap sesuatu yang buruk terjadi pada mereka, karenanya mood dan emosi bukan hanya menyenangkan dan tidak menyenangkan tetapi juga mengindikasikan apakah kejadian itu diharapkan atau tidak. Dimensi ini terbagi atas: (a) Afek Positif yaitu emosi positif yang menyenangkan, (b) Afek Negatif merupakan respon negatif sebagai reaksi terhadap kehidupan, kesehatan, keadaan dan peristiwa yang dialami. kedua afek ini berdiri sendiri dan masing-masing memiliki frekuensi dan intensitas.
  2. Dimensi Kognitif (Life satisfaction). Kepuasan hidup merupakan komponen kognitif dalam Subjective well-being yang mengacu pada penilaian global tentang kualitas hidup dan dapat menilai kondisi hidupnya. Mempertimbangkan kondisi dan mengevaluasi kehidupan dari tidak puas hingga menjadi atau merasakan puas akan hidup. Dimensi Kognitif subjective well-being ini juga mencakup area kepuasan / domain satisfaction individu di berbagai bidang kehidupannya seperti bidang yang berkaitan dengan diri sendiri, keluarga, kelompok teman sebaya, kesehatan, keuangan, pekerjaan, dan waktu luang, artinya dimensi ini memiliki gambaran yang multifacet. Dan hal ini sangat bergantung pada budaya dan bagaimana kehidupan seseorang itu terbentuk. Diener (2000) mengatakan bahwa dimensi ini dapat dipengaruhi oleh afek namun tidak mengukur emosi seseorang. Sekalipun kedua hal ini berkaitan, namun keduanya berbeda, kepuasan hidup merupakan penilaian mengenai hidup seseorang secara menyeluruh, sedangkan afek positif dan negatif terdiri dari reaksi-reaksi berkelanjutan terhadap kejadian-kejadian yang dialami.
  3. Dimensi Makna dan Tujuan Hidup (meaning and purpose in life). Memiliki makna dan tujuan hidup merupakan faktor penting dari subjective well-being, karena individu akan merasakan kepuasan maupun kebahagiaan dalam hidupnya. Dimensi ini masih kurang literatur penelitian, khususnya untuk penelitian lintas budaya. Pada beberapa penelitian subjective well-being merupakan salah satu variable yang sering diukur sebagai religiusitas. Religiusitas akan berpengaruh terhadap subjective well-being karena memberikan makna dan arah dalam kehidupan seseorang. Dengan adanya makna dan arah dalam hidup akan menimbulkan kepuasan dalam hidup dan kebahagiaan.


C.   PENDEKATAN PENELITIAN BUDAYA DAN SUBJECTIVE WELL-BEING
Penelitian lintas budaya menggunakan beberapa pendekatan dalam menjelaskan perbedaan antar budaya termasuk perbedaan subjective well-being ini.
Pendekatan Dimensi
Teori pada umumnya berpendapat bahwa penyebab well-being pada dasarnya sama untuk semua orang. Ryff dan Singer (1998) mengemukakan bahwa Well-being yang universal dibentuk dari purpose & meaning life, hubungan yang berkualitas, self regards, dan sense of mastery. Teori self determination (Deci & Ryan, 1985; Ryan & Deci, 2000) menyatakan bahwa well-being bergantung pada pemenuhan kebutuhan psikologis bawaan seperti otonomi, kompetensi, dan keterkaitan. Jika sumber well-being ini bersifat universal, mereka memberikan dimensi yang dengannya kita dapat membandingkan masyarakat. Budaya harus berbeda dalam SWB sejauh mereka memberikan orang dengan tingkat otonomi, makna, dan hubungan yang berbeda.
Perspektif terkait adalah posisi universalis pada emosi. menggambarkan pada temuan yang beragam, beberapa peneliti mengusulkan bahwa ada emosi dasar yang berbeda yang muncul dalam semua budaya (Ekman & Friesen, 1971; Izard & Malatesta, 1987; Plutchik, 1980; Tomkins, 1962, 1963). Misalnya, ekspresi wajah kemarahan, kesedihan, dan kegembiraan muncul di awal masa bayi (Izard & Malatesta, 1987) dan mudah dikenali dalam banyak budaya yang berbeda (Ekman & Friesen, 1971; Ekman et al., 1987). Ekspresi wajah dari tawa dan tangisan di antara bayi buta kongenital (Thompson, 1941) menunjukkan bahwa mungkin ada program genetik yang mengarahkan ekspresi emosi. Kemungkinan berdasarkan emosi dasar, dasar itu penting, karena itu menyiratkan bahwa kita dapat membandingkan orang-orang di seluruh masyarakat dengan pendekatan ini (namun, lihat Ortony & Turner, 1990, untuk kritik terhadap konsep emosi dasar).
Pendekatan Keunikan
Berbeda dengan pendekatan universalis, beberapa etnografer menekankan emosi sebagai konstruksi sosial. Menurut para peneliti ini, konsep emosi yang sebenarnya mungkin berbeda antar budaya. Lutz (1988) mencatat bahwa etnopsikologi Barat sering melihat emosi sebagai tersembunyi dan pribadi. Sebaliknya, karyanya di Mikronesia mengungkapkan bahwa konsep emosi Ifalukian lebih bersifat publik dan relasional. Budaya mungkin juga berbeda dalam pelabelan perasaan spesifik mereka. Misalnya, menurut Wierzbicka (1986) tidak ada kata untuk "jijik" dalam bahasa Polandia. Versi ekstrem dari pendekatan keunikan menyatakan bahwa emosi adalah murni ide Barat, dan bahwa pengalaman internal dapat diwakili dalam banyak cara lintas budaya. Formulasi yang lebih moderat, di sisi lain, berpendapat bahwa emosi yang berdasarkan biologis mungkin bersifat universal, tetapi budaya dapat secara signifikan mengubah perkembangan dan pelabelan mereka. Dengan demikian, meskipun kesedihan sering dianggap sebagai emosi dasar dengan anteseden yang dapat dikenali, orang Tahiti tampaknya tidak memiliki label seperti itu untuk itu (Levy, 1982). Sebaliknya, mereka sering merujuk pada perasaan sakit atau kelelahan, yang penyebabnya tidak spesifik. Meskipun pendekatan keunikan tidak menghalangi kemungkinan membuat perbandingan lintas budaya (Wierzbicka, 1986), dibutuhkan sebagai titik awal seluk beluk pengalaman emosional yang bermotif budaya.
Pendekatan Identitas
Perspektif lain tentang universalitas adalah bahwa terlepas dari elemen spesifik, semua budaya menikmati level SWB yang identik. Budaya mungkin berbeda dalam nilai-nilai dan kebutuhan yang mereka penuhi, tetapi orang akhirnya beradaptasi, membuat semua masyarakat relatif bahagia. Hanya dalam budaya yang sangat terganggu atau mengalami trauma (seperti Peperangan atau kelaparan) yang mengakibatkan ketidakbahagiaan.
Dalam table di bawah beragam kelompok tampaknya menikmati tingkat life satisfaction yang agak sebanding. Misalnya, Amish, Inughuit, dan Maasai semuanya melaporkan life satisfaction yang tidak jauh berbeda dari orang Amerika terkaya, menunjukkan bahwa kemewahan materi tidak diperlukan untuk well-being. Semua kelompok ini mungkin memenuhi kebutuhan, seperti untuk hubungan sosial, yang sangat penting bagi SWB. Dengan demikian, kondisi penting untuk kebahagiaan dapat dipenuhi dalam masyarakat non-industri seperti Maasai. Sebaliknya, life satisfaction dari para tunawisma menunjukkan bahwa tidak semua kelompok bahagia, dan bahwa orang tidak sepenuhnya beradaptasi dengan semua kondisi.
TABEL 1. LS dari Grup yang Dipilih
Positive groups
LS
Forbes richest Americansa
5.8
Pennsylvania Amishb
5.8
Inughuit (Inuit group  from Northern Greenland)c
5.8
East African Maasaic
5.4
International college students
4.9
(47 nations)b
Calcutta slum dwellersd
4.6
Neutral point of scale = 4.0
Groups below neutral
LS
Calcutta sex workersd
3.6
Calcutta homelessd
3.2
California homelessb
2.9
Note. LS skor didasarkan pada tanggapan terhadap pernyataan "Anda puas dengan hidup Anda," pada skala 7 poin dari 1 (sangat tidak setuju) hingga 7 (sangat setuju).
a E. Diener, Horwitz, and Emmons (1985); b E. Diener and Seligman (2004); cBiswas-Diener et al. (2004); d BiswasDiener and Diener (2001).

Jalan Tengah
Diener dkk (2007) berpendapat bahwa ada beberapa hal yang universal, seperti kecenderungan orang menjadi sedikit bahagia, kecuali mereka terpapar pada kondisi yang keras. Beberapa variabel, seperti temperamen dan hubungan positif, mempengaruhi SWB di semua budaya. Mungkin juga ada tujuan bersama, seperti kebutuhan untuk menghormati, yang menjadi ciri orang di semua budaya. Selain itu, karena pengaruh budaya sering menembus batas-batas nasional, budaya tidak sepenuhnya independen dari satu yang lain. Namun, setiap budaya juga mempertahankan kualitas unik dan tidak boleh dibandingkan dengan yang lain dengan cara yang ceroboh. Jadi, meskipun perbandingan dimungkinkan, mereka hanya boleh dibuat dengan hati-hati untuk memperhitungkan faktor unik yang ada di berbagai masyarakat.

D.  POLA DAN STRUKTUR SUBJECTIVE WELL-BEING PADA PENELITIAN LINTAS BUDAYA
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya pada beberapa pendekatan budaya dan subjective well-being, SWB tergantung pada bagaimana konsep itu dibuat dan disusun, dan akan berbeda untuk setiap budaya. Seperti emosi, apakah perilaku menyenangkan dan tidak menyenangkan berlaku untuk setiap budaya? Apakah konsep life satisfaction sama untuk semua budaya? Apakah komponen SWB saling berhubungan pada semua budaya?  Hal ini tergantung pada kejelian peneliti dalam menganalisis dan membuat konstruksi struktur penelitian budaya.
Tingkat Analisis
Setelah melakukan penelitian lintas budaya pada pengenalan ekspresi wajah, Ekman dan Friesen (1971; Ekman et al., 1987) mengemukakan bahwa kebahagiaan, kemarahan, ketakutan, kesedihan, dan rasa jijik bersifat universal. Namun, ada juga emosi yang muncul dalam beberapa budaya tetapi tidak yang lain. Di Jepang, misalnya, istilah kanashii merujuk secara khusus pada kesedihan yang timbul dari kehilangan pribadi (Mesquita & Fridja, 1992). Menurut Mesquita, Fridja, dan Scherer (1997), perdebatan tentang universalitas telah menghambat penelitian budaya dan emosi dengan berfokus pada keberadaan emosi tertentu dalam suatu budaya daripada pada bagaimana emosi "dipraktikkan." Mereka berpendapat bahwa pengalaman emosional adalah sebuah proses yang mencakup penilaian situasi, reaksi fisiologis, perilaku terbuka, dan komponen lainnya. Yang membedakan satu emosi dari yang lain adalah pola komponen. Pada tingkat umum, pola universal dari pengalaman emosional mungkin ada karena bawaan, program neurofisiologis. Misalnya, sukacita mungkin secara inheren terasa menyenangkan dan membangkitkan keinginan untuk tertawa atau tersenyum.
Perspektif yang disediakan oleh Mesquita et al. (1997) mendukung beberapa jalur penelitian tentang well-being. Dalam menilai penerapan lintas budaya dari pengaruh yang menyenangkan dan tidak menyenangkan, para peneliti SWB tidak hanya tertarik pada emosi yang ada, tetapi juga pada seberapa sering mereka mengalami, bagaimana mereka berpola, dan bagaimana norma-norma dapat membentuk struktur dan komposisi efek yang menyenangkan dan tidak menyenangkan.
Bukti Struktural
ML Diener, Fujita, Kim-Prieto, dan E. Diener (2004) mempelajari frekuensi 12 emosi dan menemukan bahwa mereka membentuk cluster positif dan negatif di tujuh wilayah dunia (Afrika, Amerika Latin, Asia Timur, Asia Tenggara, Barat Asia, Eropa Timur, dan Eropa Barat). Terlebih lagi, di hampir semua wilayah ini, kelompok inti emosi secara konsisten dimuat ke dalam kelompok positif atau negatif; yaitu, emosi positif termasuk menyenangkan, ceria, dan bahagia, sedangkan emosi negatif termasuk tidak menyenangkan, sedih, dan marah. Demikian pula, Shaver et al. (1992) menemukan bahwa satu positif (sukacita) dan tiga emosi negatif (kemarahan, kesedihan, dan ketakutan) membentuk kategori tingkat dasar dalam ketiga budaya yang mereka pelajari. Namun, perbedaan budaya mungkin timbul terkait dengan emosi yang lebih spesifik. Misalnya, di luar emosi inti, M. L. Diener et al. (2004) mengamati perbedaan dalam bagaimana emosi lain dikelompokkan. Pride dikelompokkan dengan emosi positif di Amerika Latin, Eropa Barat, dan Asia Timur, tetapi dengan emosi negatif di Afrika, Asia Tenggara, Eropa Timur, dan Asia Barat. Pride juga selaras dengan emosi negatif di antara sampel yang lebih kecil di India dan Italia (Scollon et al., 2004; Shaver et al., 1992). Temuan ini harus ditafsirkan secara hati-hati. Fakta sederhana bahwa pride berkelompok dengan emosi negatif dalam suatu budaya tidak selalu berarti bahwa itu dialami sebagai emosi negatif.
Dengan demikian, pride mungkin tidak sama dihargai dalam beberapa budaya Asia yang kolektif karena itu berfokus pada diri sendiri dan memisahkan individu dari kelompok (Kitayama & Markus, 2000; Markus & Kitayama, 1994; Scollon et al., 2004). Dengan cara yang sama, Oriyas di India merendahkan amarah, karena dianggap merusak secara sosial (Menon & Shweder, 1994). Di sisi lain, rasa malu dipandang sebagai emosi yang baik untuk dimiliki oleh wanita, karena itu merupakan bagian integral untuk mempertahankan tatanan masyarakat patriarki.

E.    VARIABEL-VARIABEL SUBJECTIVE WELL-BEING DALAM BINGKAI BUDAYA
Membagas Budaya dan Subjective well-being, tedapat beberapa varial-variabel penting yang perlu di kenali. Variabel-variabel ini perananannya dapat berbeda-beda untuk setiap budaya. Variabel- variable itu antara lain life satisfactiom, self-concept, self-estem, jenis kelamin, kepribadian, hubungan sosial masyarakat, ekonomi dan pendapatan, perbedaan genetic.
Life Satisfaction
Kepuasan hidup (life satisfaction) merupakan isu sentral pembahasan SWB. Bahkan pembahasan selanjutnya mengenai SWB, lebih banyak dikaitkan dengan life satisfaction ini.
Tabel 2. Life satisfaction di 43 negara
Nation
Year
LS
SD
Nation
Year
LS
SD
Puerto Rico
2001
8.49
1.97
Vietnam
2001
6.52
2.06
Denmark
1999
8.24
1.82
Japan
2000
6.48
1.97
Malta
1999
8.21
1.62
Peru
2001
6.44
2.40
Ireland
1999
8.20
1.83
Iran
2000
6.38
2.41
Mexico
2000
8.14
2.35
South Africa
2001
6.31
2.69
Iceland
1999
8.05
1.59
South Korea
2001
6.21
2.32
Austria
1999
8.03
1.92
Poland
1999
6.20
2.53
Northern Ireland
1999
8.00
1.75
Morocco
2001
6.06
2.54
Finland
2000
7.87
1.65
Slovakia
1999
6.03
2.22
Netherlands
1999
7.85
1.34
Estonia
1999
5.93
2.18
Canada
2000
7.85
1.88
Hungary
1999
5.80
2.42
Luxembourg
1999
7.81
1.87
Bosnia-Herzegovina
2001
5.77
2.39
USA
1999
7.66
1.82
Bangladesh
2002
5.77
2.18
Sweden
1999
7.64
1.86
Algeria
2002
5.67
2.86
Venezuela
2000
7.52
2.50
Uganda
2001
5.65
2.47
El Salvador
1999
7.50
2.43
Montenegro
2001
5.64
2.38
Belgium
1999
7.43
2.13
Turkey
2000
5.62
2.79
Germany
1999
7.42
1.96
Serbia
2001
5.62
2.47
Great Britain
1999
7.40
1.94
Jordan
2001
5.60
2.50
Argentina
1999
7.30
2.26
Bulgaria
1999
5.50
2.65
Singapore
2002
7.24
1.80
Egypt
2000
5.36
3.35
Italy
1999
7.17
2.11
Latvia
1999
5.27
2.39
Chile
2000
7.12
2.16
Romania
1999
5.23
2.77
Spain
1999
7.09
1.92
Lithuania
1999
5.20
2.66
Czech Republic
1999
7.06
1.97
Albania
2002
5.17
2.25
Portugal
1999
7.04
1.96
India
2001
5.14
2.23
Israel
2001
7.03
2.17
Macedonia
2001
5.12
2.72
France
1999
7.01
1.99
Pakistan
2001
4.85
1.46
Indonesia
2001
6.96
2.06
Belarus
2000
4.81
2.21
Nigeria
2000
6.87
2.32
Russia
1999
4.56
2.57
Croatia
1999
6.68
2.30
Ukraine
1999
4.56
2.59
Greece
1999
6.67
2.19
Moldova
2000
4.56
2.32
Philippines
2001
6.65
2.53
Zimbabwe
2001
3.95
2.79
China
2001
6.53
2.47
Tanzania
2001
3.87
3.22
Note. LS skor didasarkan pada respons terhadap pertanyaan, "Semua hal dipertimbangkan, seberapa puaskah Anda dengan hidup Anda secara keseluruhan sekarang?" Pada skala 10 poin dari 1 (tidak puas) hingga 10 (puas). Data dari Veenhoven (n.d.)

Penelitian yang dilakukan Diener at.al (1995), responden 13.118 di 31 negara, mendapatkan hasil bahwa bahwa, pada dasarnya sebagian besar orang bahagia dan puas dengan kehidupannya. Tetapi tingkat kepuasan itu tidak secara esktrim diangka maksimal, tetapi lebih banyak tersebar di atas titik netral.
Hasil penelitian Diener (1996) yang dilakukan di 43 negara (table 2) menemukan bahwa 86% responden menunjukkan life satisfaction positif (berada diatas titik netral). Tetapi klaim “kebanyak orang bahagia” tidak bermaksud untuk menyangkal tidak ada penderitaan didunia ini karena sebagian besar orang memiliki SWB yang tinggi. Tetapi masih ada variable-variabel tertentu yang sangat berpengaruh terhadap life satisfaction seperti penyakit dan perang misalnya.
Self-consept
Sejauh self-concept bervariasi di berbagai budaya (Markus & Kitayama, 1991), orang mungkin memiliki hubungan antara self-concept dan SWB yang berbeda.
Self-esteem misalnya, penelitian yang dilakukan pada negara-negara barat dengan budaya individualis, hubungan antara life satisfaction dengan SWB lebih tinggi dibandingkan dengan dinegara-negara asia timur yang bersifat collective. Penelitian Diener (1995), korelasi self-esteem dengan SWB 0.60 di USA dan hanya 0,08 di pada perempuan-perempuan India yang lebih kolektif.
Tabel 3. Variable Means for the Entire Sample and for Each Subsample
Variables


Sample


Total Sample
United States
South Korea
Taiwan
China
Aggregate SWB
3.51
4.73a
3.16b
2.78c
3.41b
Positive affect
3.12
3.49a
2.99b
2.90b
3.29a
Negative affect
2.44
2.10a
2.56b
2.56b
2.64b
Life satisfaction
2.82
3.34a
2.73b
2.44b
2.77b
Self-concordance
3.04
3.57a
3.43a
2.39b
3.41a
External motivation
2.93
2.88
      2.82
3.03
3.17
Introjected motivation
3.86
3.82a
3.39b
4.35c
4.22ac
Identified motivation
5.35
5.61a
5.31b
5.20b
5.19ab
Intrinsic motivation
4.59
4.66a
4.34a
4.57a
5.60b
CATATAN: SWB = kesejahteraan subjektif. Subsampel berarti tidak berbagi subskrip secara signifikan berbeda satu sama lain pada tingkat 0,01.
Penelitian Sheldon dkk (2004) Self-concordance dan SWB di empat budaya (USA, Korea Selatan, Taiwan dan China) dengan koefisien alfa 0.60 dan 0.82 untuk Positive effect, 0.63 dan 0.83 untuk negative effect, dan antara 0.75 dan o.81 untuk life satisfaction. Data hasil penelitian tersebut sabagai berikut:
Jenis Kelamin
Dapat diprediksi bahwa wanita memiliki tingkat life satisfaction dan self-esteem yang lebih rendah karena mereka secara tradisional memiliki lebih sedikit kekuatan dan sumber daya lebih sedikit daripada pria, sedangkan di sebagian besar budaya pria memiliki lebih banyak kebebasan dan status.
Diener dkk (1995) membandingkan life satisfaction dengan self-esteem pria dan wanita di 31 negara (sampel 13.118) sebagai berikut:
Tabel 4
Percentage of Respondents Above Neutral on Weil-Being
Nation
Men
Women
Life satisfaction
Self-esteem
Life satisfaction
Self-esteem
Austria
71
72
70
64
Bahrain
72
87
72
83
Bangladesh
27
67
33
77
Brazil
70
90
70
90
Cameroon
35
69
45
89
Canada
78
77
79
75
Chile
76
79
73
73
Egypt
63
78
52
76
Finland
87
74
84
79
Germany
66
68
65
59
Greece
68
85
66
69
India
62
75
67
78
Israel
75
88
76
88
Japan
36
34
37
46
Jordan
60
85
54
87
Kenya
53
75
56
71
Korea
49
45
44
38
Mexico
83
86
80
83
Netherlands
80
82
78
60
New Zealand
79
75
73
68
Norway
83
75
83
73
Philippines
81
84
76
82
Puerto Rico
87
81
76
75
Singapore
58
83
69
68
South Africa
59
80
59
86
Spain
54
60
61
42
Tanzania
69
81
71
77
Thailand
56
81
52
78
Turkey
39
78
47
78
United States
83
78
82
72
Yugoslavia
66
73
61
63
Across nations
63
70
70
73

Namun demikian, banyak penelitian hanya menemukan perbedaan kecil antara pria dan wanita di SWB (Herzog, Rodgers, & Woodworth, 1982). Meskipun wanita sering melaporkan lebih banyak pengaruh negatif daripada pria, studi terbaru menunjukkan bahwa, di Amerika Serikat, tingkat kebahagiaan mereka dekat dengan pria (Fujita, Diener, & Sandvik, 1991).
Norma dan Budaya
Hubungan sosial masyarakat setiap budaya beragam dan rumit. Pengalaman mengenai well-being dapat dibentuk oleh norma-norma budaya berkenaan dengan keinginan life satisfaction atau emosi tertentu (M. L. Diener et al., 2004; Suh et al., 1998). Norma untuk emosi dapat menjelaskan mengapa sampel Asia — terutama Asia Timur — sering melaporkan SWB lebih rendah daripada sampel dari Eropa dan Amerika (E. Diener & Diener, 1995; Kang, Shaver, Sue, Min, & Jing, 2003; Sheldon et al. , 2004; Suh, 2002). Perkembangan ekonomi mungkin menjadi faktor, tetapi tidak dapat sepenuhnya menjelaskan SWB yang lebih rendah di Asia Timur. Misalnya, Jepang memiliki daya beli lebih besar daripada banyak negara Amerika Latin (E. Diener, Diener, et al., 1995), namun melaporkan SWB lebih rendah daripada yang terakhir (E. Diener & Suh, 1999; E. Diener & Oishi , 2000). Ini bisa jadi karena orang Jepang dan orang Asia lainnya menunjukkan penerimaan yang lebih besar terhadap emosi yang tidak menyenangkan daripada orang di Amerika (E. Diener & Suh, 1999).
Oishi (2001) menemukan bahwa orang Amerika Eropa secara signifikan lebih puas dengan kehidupan mereka daripada orang Amerika Asia. Demikian pula, Okazaki (2000) mengamati bahwa orang Asia-Amerika melaporkan tingkat depresi dan kecemasan yang lebih tinggi daripada orang Amerika-Eropa. Dengan demikian, ada perbedaan di antara bangsa-bangsa, dan antara kelompok-kelompok etnis di di berbagai negara.
Banyak studi didasarkan pada analisis negara daripada budaya semata karena data dikumpulkan di masing-masing negara. Namun, negara sering disejajarkan dengan budaya karena perkembangan historisnya. (Hermans & Kempen 1998). Pemeriksaan komprehensif tentang efek budaya pada well-being dapat ditemukan di Diener & Suh (2000). Sejumlah faktor mungkin menjelaskan mengapa masyarakat berbeda dalam tingkat rata-rata SWB (Diener & Lucas 2000).
Ekonomi dan Pendapatan
Menurut Veenhoven (1991), pendapatan memberikan kontribusi kepada SWB karena memungkinkan seseorang untuk memenuhi kebutuhan dasar. Di luar tingkat yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan fisik, pendapatan memiliki dampak yang lebih kecil terhadap SWB. Teori Veenhoven mirip dengan Maslow (1954), yang menyatakan bahwa kebutuhan tingkat rendah (Kebutuhan fisik dan keamanan) harus dipenuhi sebelum kebutuhan tingkat tinggi (cinta dan rasa memiliki, self esteem, dan selfactualization) menjadi menonjol.
Meskipun hubungan antara pendapatan dan kebahagiaan berkurang di antara negara-negara kaya, perlu dicatat bahwa pendapatan masih berkontribusi pada SWB di luar tingkat subsistensi dasar (Diener, Diener, et al., 1995; E. Diener, Sandvik, Seidlitz, & Diener , 1993). Mungkin jumlah pendapatan yang lebih besar memfasilitasi pengejaran tujuan lain (mis., Hubungan atau filantropi) yang menambah tingkat SWB seseorang, meskipun sedikit yang diketahui tentang bagaimana uang dihabiskan diberbagai budaya. Yang (2003) berpendapat bahwa kebutuhan tingkat tinggi Maslow (rasa memiliki, penghargaan, dan self-actualization) dibingkai dalam konteks individualis. Dia menyarankan bahwa dalam masyarakat kolektivis, kebutuhan ini dibingkai dengan cara yang menegaskan kembali hubungan sosial dan identitas kelompok.
Diener (1995) pada penelitiannya di 31 negara mengkorelasikan kepuasan dengan finansial (pendapatan), menemukan bahwa finansial (pendapatan) cenderung menjadi prediktor kuat life satisfaction pada negara-negara miskin daripada di negara-negara maju.
Perbedaan genetik
Perbedaan genetik di beberapa budaya disinyalir juga mempengaruhi well-being. Tetapi asumsi ini membutuhkan penelitian lebih lanjut untuk membuktikan hal tersebut. Perbedaan individu karena pengaruh genetika misalnya gen 5-HTT serotoninrelated dikaitkan dengan perbedaan dalam kecemasan (Lesch et al., 1996), serta kerentanan terhadap depresi (Caspi et al., 2003). Lykken dan Tellegen (1996) menyatakan bahwa kira-kira setengah dari varian individu dalam SWB terkait dengan variasi genetik.
Freedman (1969) menemukan perbedaan etnis pada bayi kurang dari 4 hari. Dibandingkan dengan bayi-bayi Amerika Eropa, bayi-bayi Cina-Amerika lebih tenang dan kurang reaktif terhadap kain yang diletakkan di wajah mereka. Demikian pula, bayi berusia 4 bulan di Cina menunjukkan perilaku kurang gairah daripada bayi Eropa Amerika dan Irlandia (Kagan et al., 1994). Namun demikian, peran praktik sosialisasi tidak dapat diabaikan.

F.    SUBJECTIVE WELL-BEING DI INDONESIA
Seperti yang sudah dibahas sebelumnya bahwa, tingkat SWB orang asia Timur lebih rendah jika dibandingkan dengan negara-negara seperti USA dan negara Eropa lainnya. Hal ini bukan berarti bahwa orang Asia Timur “tidak/kurang bahagia”. Salah satu masalahnya adalah penyusunan Strutur SWB itu sendiri. Misalnya Pride, self esteem, dan emosi, sangat berbeda pendefinisiannya dalam budaya. Bagaimana dengan Indonesia yang terletak di Asia Tenggara? Indonesia yang terdiri dari beragam suku bangsa, sebenarnya sangat sulit untuk membuat sebuah generalisasi.
Berikut salah satu hasil penelitian mengenai “Ranah-ranah kebahagiaan Orang Jawa dan Relasinya terhadap Kepuadan Hidup” (Rufaedah, A., Putra, I.E. 2013).

References:
Diener, Ed., Scollon, Napa Christie & Lucas, Richard E. (2003). The evolving concept of subjective well being: the multifaceted nature of happiness. Article in press: advances in cell aging and gerontology. Vol 15
Diener, Ed., & Diener.Marissa. (1995). Cross-Cultural Correlates of Life Satisfaction and Self-Esteem. Journal Of Personality and Social Psychology Vo. 68. No.4
Diener, Ed., Oishi. Shigehiro., Lucas, Richard. E. (2003). Personalty, Culture, and Subjective Well-being: Emotional and Cognitive Evaluationg of Life. ResearGate: Annual Review of Psychology, 54:403
Kiyatama. Shinobu., & Cohen. Dev. 2007. Handbook of Cultural Psychology. The Guilford Press. New York -  London
Rufaedah, A., & Putra, I. E. (2013). Ranah-ranah kebahagiaan orang Jawa dan relasinya terhadap kepuasan hidup. Dalam J. L. Jaafar & Y. Mahamood, Z. Ishak (Eds). Menongkah arus globalisasi: Isu-isu psikologi di Malaysia dan Indonesia (pp. 205 – 2017). Kuala Lumpur: University Malaya
Russell, J.E.A. (2008). Promoting subjective well being at work. Journal of Career Assessment, 16, 117 – 131. Doi: 10.1177/1069072707308142.
Sheldon, Kennnon, M.,  Elliot, Andrew., Ryan, Richard, M., Chirkov, Valery., Kim, Youngmee., Wu, Cindy., Demir, Meliksah., & Sun, Zhigang. (2004). Self-Concordance and Subjective Well-Being in Four Cultures. Journal Of Cross Cultures Psychology, Vol.35, No.2 University of Columbia

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال