Pada dasarnya semua orang menginginkan kebahagiaan. Kebahagiaan merupakan hasil dari wujud keinginan yang tercapai. Walaupun tidak semua kebahagiaan merupakan hasil akhir sebuah proses, kebahagiaan bisa muncul selama menjalani sebuah proses. Kebahagiaan tidak bisa dipisahkan dengan kepuasan. Kebahagiaan (heppiness) dan kepuasan (satisfaction) merupakan penilaian yang bersifat subjective terhadap diri. Kedua konsep ini biasanya diasosiasikan dengan istilah well-being (karena bersifat personal, maka biasa disebut Subjective well-being (SWB)).
Budaya merupakan sistem
aturan, kebiasaan dan kaidah yang bersifat dinamis yang merupakan kumpulan
individu yang saling berinteraksi, saling mempengaruhi, didalamnya terdapat
sistem nilai, sikap, kepercayaan, norma dan perilaku. Dengan adanya perbedaan
budaya, membuat konsep-konsep nilai, sikap, kepercayaan, norma dan perilaku
berbeda. Demikian pula dengan konsep SWB.
A.
DEFINISI SUBJECTIVE WELL-BEING
Diener, Kahneman, dan
Schwarz (dalam Ed Diener & Scollon, 2003) Subjective well-being adalah
evaluasi subjektif masyarakat terhadap hidup individu, yang meliputi konsep seperti
kepuasan hidup, emosi yang menyenangkan, perasaan pemenuhan, kepuasan dengan
domain seperti perkawinan, pekerjaan dan tinggi rendahnya situasi emosi. Dengan
demikian subjective well-being merupakan istilah umum yang mencakup berbagai
konsep yang terkait pada bagaimana orang merasakan dan berfikir tentang
kehidupan mereka.
Subjective well-being dari
Russell (2008) adalah persepsi individu terhadap kehidupannya, atau pandangan
subjektif individu terhadap pengalaman hidupnya. Diener et al. (2002, dalam
Diener, Scollon, Lucas, 2003) menemukan bahwa orang-orang yang bahagia
cenderung menitikberatkan domain-domain terbaik dalam kehidupan mereka,
sedangkan orang-orang yang tidak bahagia cenderung lebih menitikberatkan pada
domain-domain terburuk dalam kehidupan mereka. Karena itu, kepuasan ranah
kehidupan tidak hanya dapat mencerminkan bagian-bagian komponen dari sebuah
penilaian kepuasan hidup, tetapi juga dapat menyediakan informasi yang unik
mengenai keseluruhan well-being seseorang.
Beberapa definisi yang
telah dikemukakan tersebut, maka dapat diartikan bahwa subjective well-being
adalah suatu ungkapan perasaan individu mengenai kehidupannya didalam berbagai
keadaan yang terjadi dan dialami, baik itu dilihat berdasarkan kebahagiaan dan
kepuasan dalam hidup.
B.
DIMENSI SUBJECTIVE WELL-BEING
Tov & Diener (2007),
bahwa SWB sering melibatkan emosi yang menyenangkan, emosi yang tidak
menyenangkan, dan kepuasan hidup (life satisfaction). Emosi masuk dalam ranah afektif
dan kepuasan hidup (life satisfaction) adalah ranah kognitif.
Unsur-unsur Subjective
Well-Being adalah sebagai berikut:
- Dimensi Afektif (Emosi menyenangkan dan tidak menyenangkan). Dimensi dasar dari subjective well-being adalah afek, di mana di dalamnya termasuk mood dan emosi yang menyenangkan dan tidak menyenangkan. Orang bereaksi dengan emosi yang menyenangkan ketika mereka menganggap sesuatu yang baik terjadi pada diri mereka, dan bereaksi dengan emosi yang tidak menyenangkan ketika menganggap sesuatu yang buruk terjadi pada mereka, karenanya mood dan emosi bukan hanya menyenangkan dan tidak menyenangkan tetapi juga mengindikasikan apakah kejadian itu diharapkan atau tidak. Dimensi ini terbagi atas: (a) Afek Positif yaitu emosi positif yang menyenangkan, (b) Afek Negatif merupakan respon negatif sebagai reaksi terhadap kehidupan, kesehatan, keadaan dan peristiwa yang dialami. kedua afek ini berdiri sendiri dan masing-masing memiliki frekuensi dan intensitas.
- Dimensi Kognitif (Life satisfaction). Kepuasan hidup merupakan komponen kognitif dalam Subjective well-being yang mengacu pada penilaian global tentang kualitas hidup dan dapat menilai kondisi hidupnya. Mempertimbangkan kondisi dan mengevaluasi kehidupan dari tidak puas hingga menjadi atau merasakan puas akan hidup. Dimensi Kognitif subjective well-being ini juga mencakup area kepuasan / domain satisfaction individu di berbagai bidang kehidupannya seperti bidang yang berkaitan dengan diri sendiri, keluarga, kelompok teman sebaya, kesehatan, keuangan, pekerjaan, dan waktu luang, artinya dimensi ini memiliki gambaran yang multifacet. Dan hal ini sangat bergantung pada budaya dan bagaimana kehidupan seseorang itu terbentuk. Diener (2000) mengatakan bahwa dimensi ini dapat dipengaruhi oleh afek namun tidak mengukur emosi seseorang. Sekalipun kedua hal ini berkaitan, namun keduanya berbeda, kepuasan hidup merupakan penilaian mengenai hidup seseorang secara menyeluruh, sedangkan afek positif dan negatif terdiri dari reaksi-reaksi berkelanjutan terhadap kejadian-kejadian yang dialami.
- Dimensi Makna dan Tujuan Hidup (meaning and purpose in life). Memiliki makna dan tujuan hidup merupakan faktor penting dari subjective well-being, karena individu akan merasakan kepuasan maupun kebahagiaan dalam hidupnya. Dimensi ini masih kurang literatur penelitian, khususnya untuk penelitian lintas budaya. Pada beberapa penelitian subjective well-being merupakan salah satu variable yang sering diukur sebagai religiusitas. Religiusitas akan berpengaruh terhadap subjective well-being karena memberikan makna dan arah dalam kehidupan seseorang. Dengan adanya makna dan arah dalam hidup akan menimbulkan kepuasan dalam hidup dan kebahagiaan.
C.
PENDEKATAN PENELITIAN BUDAYA DAN
SUBJECTIVE WELL-BEING
Penelitian lintas budaya
menggunakan beberapa pendekatan dalam menjelaskan perbedaan antar budaya
termasuk perbedaan subjective well-being ini.
Pendekatan
Dimensi
Teori pada umumnya
berpendapat bahwa penyebab well-being pada dasarnya sama untuk semua orang. Ryff
dan Singer (1998) mengemukakan bahwa Well-being yang universal dibentuk dari purpose
& meaning life, hubungan yang berkualitas, self regards, dan sense of
mastery. Teori self determination (Deci & Ryan, 1985; Ryan & Deci,
2000) menyatakan bahwa well-being bergantung pada pemenuhan kebutuhan
psikologis bawaan seperti otonomi, kompetensi, dan keterkaitan. Jika sumber
well-being ini bersifat universal, mereka memberikan dimensi yang dengannya
kita dapat membandingkan masyarakat. Budaya harus berbeda dalam SWB sejauh
mereka memberikan orang dengan tingkat otonomi, makna, dan hubungan yang
berbeda.
Perspektif terkait adalah
posisi universalis pada emosi. menggambarkan pada temuan yang beragam, beberapa
peneliti mengusulkan bahwa ada emosi dasar yang berbeda yang muncul dalam semua
budaya (Ekman & Friesen, 1971; Izard & Malatesta, 1987; Plutchik, 1980;
Tomkins, 1962, 1963). Misalnya, ekspresi wajah kemarahan, kesedihan, dan
kegembiraan muncul di awal masa bayi (Izard & Malatesta, 1987) dan mudah
dikenali dalam banyak budaya yang berbeda (Ekman & Friesen, 1971; Ekman et
al., 1987). Ekspresi wajah dari tawa dan tangisan di antara bayi buta
kongenital (Thompson, 1941) menunjukkan bahwa mungkin ada program genetik yang
mengarahkan ekspresi emosi. Kemungkinan berdasarkan emosi dasar, dasar itu
penting, karena itu menyiratkan bahwa kita dapat membandingkan orang-orang di
seluruh masyarakat dengan pendekatan ini (namun, lihat Ortony & Turner,
1990, untuk kritik terhadap konsep emosi dasar).
Pendekatan
Keunikan
Berbeda dengan pendekatan
universalis, beberapa etnografer menekankan emosi sebagai konstruksi sosial.
Menurut para peneliti ini, konsep emosi yang sebenarnya mungkin berbeda antar
budaya. Lutz (1988) mencatat bahwa etnopsikologi Barat sering melihat emosi
sebagai tersembunyi dan pribadi. Sebaliknya, karyanya di Mikronesia
mengungkapkan bahwa konsep emosi Ifalukian lebih bersifat publik dan
relasional. Budaya mungkin juga berbeda dalam pelabelan perasaan spesifik
mereka. Misalnya, menurut Wierzbicka (1986) tidak ada kata untuk
"jijik" dalam bahasa Polandia. Versi ekstrem dari pendekatan keunikan
menyatakan bahwa emosi adalah murni ide Barat, dan bahwa pengalaman internal
dapat diwakili dalam banyak cara lintas budaya. Formulasi yang lebih moderat,
di sisi lain, berpendapat bahwa emosi yang berdasarkan biologis mungkin
bersifat universal, tetapi budaya dapat secara signifikan mengubah perkembangan
dan pelabelan mereka. Dengan demikian, meskipun kesedihan sering dianggap
sebagai emosi dasar dengan anteseden yang dapat dikenali, orang Tahiti
tampaknya tidak memiliki label seperti itu untuk itu (Levy, 1982). Sebaliknya,
mereka sering merujuk pada perasaan sakit atau kelelahan, yang penyebabnya
tidak spesifik. Meskipun pendekatan keunikan tidak menghalangi kemungkinan
membuat perbandingan lintas budaya (Wierzbicka, 1986), dibutuhkan sebagai titik
awal seluk beluk pengalaman emosional yang bermotif budaya.
Pendekatan
Identitas
Perspektif lain tentang
universalitas adalah bahwa terlepas dari elemen spesifik, semua budaya
menikmati level SWB yang identik. Budaya mungkin berbeda dalam nilai-nilai dan
kebutuhan yang mereka penuhi, tetapi orang akhirnya beradaptasi, membuat semua
masyarakat relatif bahagia. Hanya dalam budaya yang sangat terganggu atau
mengalami trauma (seperti Peperangan atau kelaparan) yang mengakibatkan
ketidakbahagiaan.
Dalam table di bawah
beragam kelompok tampaknya menikmati tingkat life satisfaction yang agak
sebanding. Misalnya, Amish, Inughuit, dan Maasai semuanya melaporkan life
satisfaction yang tidak jauh berbeda dari orang Amerika terkaya, menunjukkan
bahwa kemewahan materi tidak diperlukan untuk well-being. Semua kelompok ini
mungkin memenuhi kebutuhan, seperti untuk hubungan sosial, yang sangat penting
bagi SWB. Dengan demikian, kondisi penting untuk kebahagiaan dapat dipenuhi
dalam masyarakat non-industri seperti Maasai. Sebaliknya, life satisfaction
dari para tunawisma menunjukkan bahwa tidak semua kelompok bahagia, dan bahwa
orang tidak sepenuhnya beradaptasi dengan semua kondisi.
TABEL
1. LS dari Grup yang Dipilih
Positive groups
|
LS
|
Forbes richest Americansa
|
5.8
|
Pennsylvania Amishb
|
5.8
|
Inughuit
(Inuit group from Northern Greenland)c
|
5.8
|
East African Maasaic
|
5.4
|
International college students
|
4.9
|
(47
nations)b
|
|
Calcutta slum dwellersd
|
4.6
|
Neutral
point of scale = 4.0
|
|
Groups below neutral
|
LS
|
Calcutta sex workersd
|
3.6
|
Calcutta homelessd
|
3.2
|
California homelessb
|
2.9
|
Note.
LS skor didasarkan pada tanggapan terhadap pernyataan "Anda puas dengan
hidup Anda," pada skala 7 poin dari 1 (sangat tidak setuju) hingga 7
(sangat setuju).
a
E. Diener, Horwitz, and Emmons (1985); b E. Diener and Seligman (2004);
cBiswas-Diener et al. (2004); d BiswasDiener and Diener (2001).
Jalan
Tengah
Diener dkk (2007)
berpendapat bahwa ada beberapa hal yang universal, seperti kecenderungan orang
menjadi sedikit bahagia, kecuali mereka terpapar pada kondisi yang keras.
Beberapa variabel, seperti temperamen dan hubungan positif, mempengaruhi SWB di
semua budaya. Mungkin juga ada tujuan bersama, seperti kebutuhan untuk
menghormati, yang menjadi ciri orang di semua budaya. Selain itu, karena pengaruh
budaya sering menembus batas-batas nasional, budaya tidak sepenuhnya independen
dari satu yang lain. Namun, setiap budaya juga mempertahankan kualitas unik dan
tidak boleh dibandingkan dengan yang lain dengan cara yang ceroboh. Jadi,
meskipun perbandingan dimungkinkan, mereka hanya boleh dibuat dengan hati-hati
untuk memperhitungkan faktor unik yang ada di berbagai masyarakat.
D. POLA DAN STRUKTUR SUBJECTIVE
WELL-BEING PADA PENELITIAN LINTAS BUDAYA
Seperti yang sudah
dijelaskan sebelumnya pada beberapa pendekatan budaya dan subjective
well-being, SWB tergantung pada bagaimana konsep itu dibuat dan disusun, dan
akan berbeda untuk setiap budaya. Seperti emosi, apakah perilaku menyenangkan
dan tidak menyenangkan berlaku untuk setiap budaya? Apakah konsep life
satisfaction sama untuk semua budaya? Apakah komponen SWB saling berhubungan
pada semua budaya? Hal ini tergantung
pada kejelian peneliti dalam menganalisis dan membuat konstruksi struktur
penelitian budaya.
Tingkat
Analisis
Setelah melakukan
penelitian lintas budaya pada pengenalan ekspresi wajah, Ekman dan Friesen
(1971; Ekman et al., 1987) mengemukakan bahwa kebahagiaan, kemarahan,
ketakutan, kesedihan, dan rasa jijik bersifat universal. Namun, ada juga emosi
yang muncul dalam beberapa budaya tetapi tidak yang lain. Di Jepang, misalnya,
istilah kanashii merujuk secara khusus pada kesedihan yang timbul dari
kehilangan pribadi (Mesquita & Fridja, 1992). Menurut Mesquita, Fridja, dan
Scherer (1997), perdebatan tentang universalitas telah menghambat penelitian
budaya dan emosi dengan berfokus pada keberadaan emosi tertentu dalam suatu
budaya daripada pada bagaimana emosi "dipraktikkan." Mereka
berpendapat bahwa pengalaman emosional adalah sebuah proses yang mencakup
penilaian situasi, reaksi fisiologis, perilaku terbuka, dan komponen lainnya.
Yang membedakan satu emosi dari yang lain adalah pola komponen. Pada tingkat
umum, pola universal dari pengalaman emosional mungkin ada karena bawaan,
program neurofisiologis. Misalnya, sukacita mungkin secara inheren terasa
menyenangkan dan membangkitkan keinginan untuk tertawa atau tersenyum.
Perspektif yang disediakan
oleh Mesquita et al. (1997) mendukung beberapa jalur penelitian tentang
well-being. Dalam menilai penerapan lintas budaya dari pengaruh yang menyenangkan
dan tidak menyenangkan, para peneliti SWB tidak hanya tertarik pada emosi yang
ada, tetapi juga pada seberapa sering mereka mengalami, bagaimana mereka
berpola, dan bagaimana norma-norma dapat membentuk struktur dan komposisi efek
yang menyenangkan dan tidak menyenangkan.
Bukti
Struktural
ML Diener, Fujita,
Kim-Prieto, dan E. Diener (2004) mempelajari frekuensi 12 emosi dan menemukan
bahwa mereka membentuk cluster positif dan negatif di tujuh wilayah dunia
(Afrika, Amerika Latin, Asia Timur, Asia Tenggara, Barat Asia, Eropa Timur, dan
Eropa Barat). Terlebih lagi, di hampir semua wilayah ini, kelompok inti emosi
secara konsisten dimuat ke dalam kelompok positif atau negatif; yaitu, emosi
positif termasuk menyenangkan, ceria, dan bahagia, sedangkan emosi negatif
termasuk tidak menyenangkan, sedih, dan marah. Demikian pula, Shaver et al.
(1992) menemukan bahwa satu positif (sukacita) dan tiga emosi negatif
(kemarahan, kesedihan, dan ketakutan) membentuk kategori tingkat dasar dalam
ketiga budaya yang mereka pelajari. Namun, perbedaan budaya mungkin timbul
terkait dengan emosi yang lebih spesifik. Misalnya, di luar emosi inti, M. L.
Diener et al. (2004) mengamati perbedaan dalam bagaimana emosi lain
dikelompokkan. Pride dikelompokkan dengan emosi positif di Amerika Latin, Eropa
Barat, dan Asia Timur, tetapi dengan emosi negatif di Afrika, Asia Tenggara,
Eropa Timur, dan Asia Barat. Pride juga selaras dengan emosi negatif di antara
sampel yang lebih kecil di India dan Italia (Scollon et al., 2004; Shaver et al.,
1992). Temuan ini harus ditafsirkan secara hati-hati. Fakta sederhana bahwa
pride berkelompok dengan emosi negatif dalam suatu budaya tidak selalu berarti
bahwa itu dialami sebagai emosi negatif.
Dengan demikian, pride
mungkin tidak sama dihargai dalam beberapa budaya Asia yang kolektif karena itu
berfokus pada diri sendiri dan memisahkan individu dari kelompok (Kitayama
& Markus, 2000; Markus & Kitayama, 1994; Scollon et al., 2004). Dengan
cara yang sama, Oriyas di India merendahkan amarah, karena dianggap merusak
secara sosial (Menon & Shweder, 1994). Di sisi lain, rasa malu dipandang
sebagai emosi yang baik untuk dimiliki oleh wanita, karena itu merupakan bagian
integral untuk mempertahankan tatanan masyarakat patriarki.
E.
VARIABEL-VARIABEL SUBJECTIVE WELL-BEING
DALAM BINGKAI BUDAYA
Membagas Budaya dan
Subjective well-being, tedapat beberapa varial-variabel penting yang perlu di
kenali. Variabel-variabel ini perananannya dapat berbeda-beda untuk setiap
budaya. Variabel- variable itu antara lain life satisfactiom, self-concept,
self-estem, jenis kelamin, kepribadian, hubungan sosial masyarakat, ekonomi dan
pendapatan, perbedaan genetic.
Life
Satisfaction
Kepuasan hidup (life
satisfaction) merupakan isu sentral pembahasan SWB. Bahkan pembahasan
selanjutnya mengenai SWB, lebih banyak dikaitkan dengan life satisfaction ini.
Tabel
2. Life satisfaction di 43 negara
Nation
|
Year
|
LS
|
SD
|
Nation
|
Year
|
LS
|
SD
|
Puerto Rico
|
2001
|
8.49
|
1.97
|
Vietnam
|
2001
|
6.52
|
2.06
|
Denmark
|
1999
|
8.24
|
1.82
|
Japan
|
2000
|
6.48
|
1.97
|
Malta
|
1999
|
8.21
|
1.62
|
Peru
|
2001
|
6.44
|
2.40
|
Ireland
|
1999
|
8.20
|
1.83
|
Iran
|
2000
|
6.38
|
2.41
|
Mexico
|
2000
|
8.14
|
2.35
|
South Africa
|
2001
|
6.31
|
2.69
|
Iceland
|
1999
|
8.05
|
1.59
|
South Korea
|
2001
|
6.21
|
2.32
|
Austria
|
1999
|
8.03
|
1.92
|
Poland
|
1999
|
6.20
|
2.53
|
Northern Ireland
|
1999
|
8.00
|
1.75
|
Morocco
|
2001
|
6.06
|
2.54
|
Finland
|
2000
|
7.87
|
1.65
|
Slovakia
|
1999
|
6.03
|
2.22
|
Netherlands
|
1999
|
7.85
|
1.34
|
Estonia
|
1999
|
5.93
|
2.18
|
Canada
|
2000
|
7.85
|
1.88
|
Hungary
|
1999
|
5.80
|
2.42
|
Luxembourg
|
1999
|
7.81
|
1.87
|
Bosnia-Herzegovina
|
2001
|
5.77
|
2.39
|
USA
|
1999
|
7.66
|
1.82
|
Bangladesh
|
2002
|
5.77
|
2.18
|
Sweden
|
1999
|
7.64
|
1.86
|
Algeria
|
2002
|
5.67
|
2.86
|
Venezuela
|
2000
|
7.52
|
2.50
|
Uganda
|
2001
|
5.65
|
2.47
|
El Salvador
|
1999
|
7.50
|
2.43
|
Montenegro
|
2001
|
5.64
|
2.38
|
Belgium
|
1999
|
7.43
|
2.13
|
Turkey
|
2000
|
5.62
|
2.79
|
Germany
|
1999
|
7.42
|
1.96
|
Serbia
|
2001
|
5.62
|
2.47
|
Great Britain
|
1999
|
7.40
|
1.94
|
Jordan
|
2001
|
5.60
|
2.50
|
Argentina
|
1999
|
7.30
|
2.26
|
Bulgaria
|
1999
|
5.50
|
2.65
|
Singapore
|
2002
|
7.24
|
1.80
|
Egypt
|
2000
|
5.36
|
3.35
|
Italy
|
1999
|
7.17
|
2.11
|
Latvia
|
1999
|
5.27
|
2.39
|
Chile
|
2000
|
7.12
|
2.16
|
Romania
|
1999
|
5.23
|
2.77
|
Spain
|
1999
|
7.09
|
1.92
|
Lithuania
|
1999
|
5.20
|
2.66
|
Czech Republic
|
1999
|
7.06
|
1.97
|
Albania
|
2002
|
5.17
|
2.25
|
Portugal
|
1999
|
7.04
|
1.96
|
India
|
2001
|
5.14
|
2.23
|
Israel
|
2001
|
7.03
|
2.17
|
Macedonia
|
2001
|
5.12
|
2.72
|
France
|
1999
|
7.01
|
1.99
|
Pakistan
|
2001
|
4.85
|
1.46
|
Indonesia
|
2001
|
6.96
|
2.06
|
Belarus
|
2000
|
4.81
|
2.21
|
Nigeria
|
2000
|
6.87
|
2.32
|
Russia
|
1999
|
4.56
|
2.57
|
Croatia
|
1999
|
6.68
|
2.30
|
Ukraine
|
1999
|
4.56
|
2.59
|
Greece
|
1999
|
6.67
|
2.19
|
Moldova
|
2000
|
4.56
|
2.32
|
Philippines
|
2001
|
6.65
|
2.53
|
Zimbabwe
|
2001
|
3.95
|
2.79
|
China
|
2001
|
6.53
|
2.47
|
Tanzania
|
2001
|
3.87
|
3.22
|
Note.
LS skor didasarkan pada respons terhadap pertanyaan, "Semua hal
dipertimbangkan, seberapa puaskah Anda dengan hidup Anda secara keseluruhan
sekarang?" Pada skala 10 poin dari 1 (tidak puas) hingga 10 (puas). Data
dari Veenhoven (n.d.)
Penelitian yang dilakukan
Diener at.al (1995), responden 13.118 di 31 negara, mendapatkan hasil bahwa
bahwa, pada dasarnya sebagian besar orang bahagia dan puas dengan kehidupannya.
Tetapi tingkat kepuasan itu tidak secara esktrim diangka maksimal, tetapi lebih
banyak tersebar di atas titik netral.
Hasil penelitian Diener
(1996) yang dilakukan di 43 negara (table 2) menemukan bahwa 86% responden
menunjukkan life satisfaction positif (berada diatas titik netral). Tetapi
klaim “kebanyak orang bahagia” tidak bermaksud untuk menyangkal tidak ada
penderitaan didunia ini karena sebagian besar orang memiliki SWB yang tinggi.
Tetapi masih ada variable-variabel tertentu yang sangat berpengaruh terhadap
life satisfaction seperti penyakit dan perang misalnya.
Self-consept
Sejauh self-concept
bervariasi di berbagai budaya (Markus & Kitayama, 1991), orang mungkin
memiliki hubungan antara self-concept dan SWB yang berbeda.
Self-esteem misalnya,
penelitian yang dilakukan pada negara-negara barat dengan budaya individualis,
hubungan antara life satisfaction dengan SWB lebih tinggi dibandingkan dengan
dinegara-negara asia timur yang bersifat collective. Penelitian Diener (1995),
korelasi self-esteem dengan SWB 0.60 di USA dan hanya 0,08 di pada
perempuan-perempuan India yang lebih kolektif.
Tabel 3. Variable
Means for the Entire Sample and for Each Subsample
|
|||||
Variables
|
Sample
|
||||
Total Sample
|
United States
|
South Korea
|
Taiwan
|
China
|
|
Aggregate SWB
|
3.51
|
4.73a
|
3.16b
|
2.78c
|
3.41b
|
Positive affect
|
3.12
|
3.49a
|
2.99b
|
2.90b
|
3.29a
|
Negative affect
|
2.44
|
2.10a
|
2.56b
|
2.56b
|
2.64b
|
Life satisfaction
|
2.82
|
3.34a
|
2.73b
|
2.44b
|
2.77b
|
Self-concordance
|
3.04
|
3.57a
|
3.43a
|
2.39b
|
3.41a
|
External motivation
|
2.93
|
2.88
|
2.82
|
3.03
|
3.17
|
Introjected motivation
|
3.86
|
3.82a
|
3.39b
|
4.35c
|
4.22ac
|
Identified motivation
|
5.35
|
5.61a
|
5.31b
|
5.20b
|
5.19ab
|
Intrinsic motivation
|
4.59
|
4.66a
|
4.34a
|
4.57a
|
5.60b
|
CATATAN:
SWB = kesejahteraan subjektif. Subsampel berarti tidak berbagi subskrip secara
signifikan berbeda satu sama lain pada tingkat 0,01.
Penelitian Sheldon dkk
(2004) Self-concordance dan SWB di empat budaya (USA, Korea Selatan, Taiwan dan
China) dengan koefisien alfa 0.60 dan 0.82 untuk Positive effect, 0.63 dan 0.83
untuk negative effect, dan antara 0.75 dan o.81 untuk life satisfaction. Data
hasil penelitian tersebut sabagai berikut:
Jenis
Kelamin
Dapat diprediksi bahwa
wanita memiliki tingkat life satisfaction dan self-esteem yang lebih rendah
karena mereka secara tradisional memiliki lebih sedikit kekuatan dan sumber
daya lebih sedikit daripada pria, sedangkan di sebagian besar budaya pria
memiliki lebih banyak kebebasan dan status.
Diener dkk (1995)
membandingkan life satisfaction dengan self-esteem pria dan wanita di 31
negara (sampel 13.118) sebagai berikut:
Tabel 4
|
||||
Percentage of
Respondents Above Neutral on Weil-Being
|
||||
Nation
|
Men
|
Women
|
||
Life satisfaction
|
Self-esteem
|
Life satisfaction
|
Self-esteem
|
|
Austria
|
71
|
72
|
70
|
64
|
Bahrain
|
72
|
87
|
72
|
83
|
Bangladesh
|
27
|
67
|
33
|
77
|
Brazil
|
70
|
90
|
70
|
90
|
Cameroon
|
35
|
69
|
45
|
89
|
Canada
|
78
|
77
|
79
|
75
|
Chile
|
76
|
79
|
73
|
73
|
Egypt
|
63
|
78
|
52
|
76
|
Finland
|
87
|
74
|
84
|
79
|
Germany
|
66
|
68
|
65
|
59
|
Greece
|
68
|
85
|
66
|
69
|
India
|
62
|
75
|
67
|
78
|
Israel
|
75
|
88
|
76
|
88
|
Japan
|
36
|
34
|
37
|
46
|
Jordan
|
60
|
85
|
54
|
87
|
Kenya
|
53
|
75
|
56
|
71
|
Korea
|
49
|
45
|
44
|
38
|
Mexico
|
83
|
86
|
80
|
83
|
Netherlands
|
80
|
82
|
78
|
60
|
New Zealand
|
79
|
75
|
73
|
68
|
Norway
|
83
|
75
|
83
|
73
|
Philippines
|
81
|
84
|
76
|
82
|
Puerto Rico
|
87
|
81
|
76
|
75
|
Singapore
|
58
|
83
|
69
|
68
|
South Africa
|
59
|
80
|
59
|
86
|
Spain
|
54
|
60
|
61
|
42
|
Tanzania
|
69
|
81
|
71
|
77
|
Thailand
|
56
|
81
|
52
|
78
|
Turkey
|
39
|
78
|
47
|
78
|
United States
|
83
|
78
|
82
|
72
|
Yugoslavia
|
66
|
73
|
61
|
63
|
Across nations
|
63
|
70
|
70
|
73
|
Namun demikian, banyak
penelitian hanya menemukan perbedaan kecil antara pria dan wanita di SWB
(Herzog, Rodgers, & Woodworth, 1982). Meskipun wanita sering melaporkan
lebih banyak pengaruh negatif daripada pria, studi terbaru menunjukkan bahwa,
di Amerika Serikat, tingkat kebahagiaan mereka dekat dengan pria (Fujita,
Diener, & Sandvik, 1991).
Norma
dan Budaya
Hubungan sosial masyarakat
setiap budaya beragam dan rumit. Pengalaman mengenai well-being dapat dibentuk
oleh norma-norma budaya berkenaan dengan keinginan life satisfaction atau emosi
tertentu (M. L. Diener et al., 2004; Suh et al., 1998). Norma untuk emosi dapat
menjelaskan mengapa sampel Asia — terutama Asia Timur — sering melaporkan SWB
lebih rendah daripada sampel dari Eropa dan Amerika (E. Diener & Diener,
1995; Kang, Shaver, Sue, Min, & Jing, 2003; Sheldon et al. , 2004; Suh,
2002). Perkembangan ekonomi mungkin menjadi faktor, tetapi tidak dapat
sepenuhnya menjelaskan SWB yang lebih rendah di Asia Timur. Misalnya, Jepang
memiliki daya beli lebih besar daripada banyak negara Amerika Latin (E. Diener,
Diener, et al., 1995), namun melaporkan SWB lebih rendah daripada yang terakhir
(E. Diener & Suh, 1999; E. Diener & Oishi , 2000). Ini bisa jadi karena
orang Jepang dan orang Asia lainnya menunjukkan penerimaan yang lebih besar
terhadap emosi yang tidak menyenangkan daripada orang di Amerika (E. Diener
& Suh, 1999).
Oishi (2001) menemukan
bahwa orang Amerika Eropa secara signifikan lebih puas dengan kehidupan mereka
daripada orang Amerika Asia. Demikian pula, Okazaki (2000) mengamati bahwa
orang Asia-Amerika melaporkan tingkat depresi dan kecemasan yang lebih tinggi
daripada orang Amerika-Eropa. Dengan demikian, ada perbedaan di antara
bangsa-bangsa, dan antara kelompok-kelompok etnis di di berbagai negara.
Banyak studi didasarkan
pada analisis negara daripada budaya semata karena data dikumpulkan di
masing-masing negara. Namun, negara sering disejajarkan dengan budaya karena
perkembangan historisnya. (Hermans & Kempen 1998). Pemeriksaan komprehensif
tentang efek budaya pada well-being dapat ditemukan di Diener & Suh (2000).
Sejumlah faktor mungkin menjelaskan mengapa masyarakat berbeda dalam tingkat
rata-rata SWB (Diener & Lucas 2000).
Ekonomi
dan Pendapatan
Menurut Veenhoven (1991),
pendapatan memberikan kontribusi kepada SWB karena memungkinkan seseorang untuk
memenuhi kebutuhan dasar. Di luar tingkat yang dibutuhkan untuk memenuhi
kebutuhan fisik, pendapatan memiliki dampak yang lebih kecil terhadap SWB.
Teori Veenhoven mirip dengan Maslow (1954), yang menyatakan bahwa kebutuhan
tingkat rendah (Kebutuhan fisik dan keamanan) harus dipenuhi sebelum kebutuhan
tingkat tinggi (cinta dan rasa memiliki, self esteem, dan selfactualization)
menjadi menonjol.
Meskipun hubungan antara
pendapatan dan kebahagiaan berkurang di antara negara-negara kaya, perlu
dicatat bahwa pendapatan masih berkontribusi pada SWB di luar tingkat
subsistensi dasar (Diener, Diener, et al., 1995; E. Diener, Sandvik, Seidlitz,
& Diener , 1993). Mungkin jumlah pendapatan yang lebih besar memfasilitasi
pengejaran tujuan lain (mis., Hubungan atau filantropi) yang menambah tingkat
SWB seseorang, meskipun sedikit yang diketahui tentang bagaimana uang
dihabiskan diberbagai budaya. Yang (2003) berpendapat bahwa kebutuhan tingkat
tinggi Maslow (rasa memiliki, penghargaan, dan self-actualization) dibingkai
dalam konteks individualis. Dia menyarankan bahwa dalam masyarakat kolektivis,
kebutuhan ini dibingkai dengan cara yang menegaskan kembali hubungan sosial dan
identitas kelompok.
Diener (1995) pada
penelitiannya di 31 negara mengkorelasikan kepuasan dengan finansial
(pendapatan), menemukan bahwa finansial (pendapatan) cenderung menjadi
prediktor kuat life satisfaction pada negara-negara miskin daripada di
negara-negara maju.
Perbedaan
genetik
Perbedaan genetik di
beberapa budaya disinyalir juga mempengaruhi well-being. Tetapi asumsi ini
membutuhkan penelitian lebih lanjut untuk membuktikan hal tersebut. Perbedaan
individu karena pengaruh genetika misalnya gen 5-HTT serotoninrelated dikaitkan
dengan perbedaan dalam kecemasan (Lesch et al., 1996), serta kerentanan
terhadap depresi (Caspi et al., 2003). Lykken dan Tellegen (1996) menyatakan
bahwa kira-kira setengah dari varian individu dalam SWB terkait dengan variasi
genetik.
Freedman (1969) menemukan
perbedaan etnis pada bayi kurang dari 4 hari. Dibandingkan dengan bayi-bayi
Amerika Eropa, bayi-bayi Cina-Amerika lebih tenang dan kurang reaktif terhadap
kain yang diletakkan di wajah mereka. Demikian pula, bayi berusia 4 bulan di
Cina menunjukkan perilaku kurang gairah daripada bayi Eropa Amerika dan
Irlandia (Kagan et al., 1994). Namun demikian, peran praktik sosialisasi tidak
dapat diabaikan.
F.
SUBJECTIVE WELL-BEING DI INDONESIA
Seperti yang sudah dibahas
sebelumnya bahwa, tingkat SWB orang asia Timur lebih rendah jika dibandingkan
dengan negara-negara seperti USA dan negara Eropa lainnya. Hal ini bukan
berarti bahwa orang Asia Timur “tidak/kurang bahagia”. Salah satu masalahnya
adalah penyusunan Strutur SWB itu sendiri. Misalnya Pride, self esteem, dan
emosi, sangat berbeda pendefinisiannya dalam budaya. Bagaimana dengan Indonesia
yang terletak di Asia Tenggara? Indonesia yang terdiri dari beragam suku
bangsa, sebenarnya sangat sulit untuk membuat sebuah generalisasi.
Berikut salah satu hasil penelitian
mengenai “Ranah-ranah kebahagiaan Orang Jawa dan Relasinya terhadap Kepuadan
Hidup” (Rufaedah, A., Putra, I.E. 2013).
References:
Diener, Ed., Scollon, Napa Christie & Lucas, Richard E. (2003). The evolving concept of subjective well
being: the multifaceted nature of happiness. Article in press: advances in
cell aging and gerontology. Vol 15
Diener, Ed., & Diener.Marissa. (1995). Cross-Cultural Correlates of Life Satisfaction and Self-Esteem.
Journal Of Personality and Social Psychology Vo. 68. No.4
Diener, Ed., Oishi. Shigehiro., Lucas, Richard. E. (2003). Personalty, Culture, and Subjective
Well-being: Emotional and Cognitive Evaluationg of Life. ResearGate: Annual
Review of Psychology, 54:403
Kiyatama. Shinobu., & Cohen. Dev. 2007. Handbook of Cultural Psychology. The Guilford Press. New York
- London
Rufaedah, A., & Putra, I. E. (2013). Ranah-ranah kebahagiaan orang Jawa dan relasinya terhadap kepuasan
hidup. Dalam J. L. Jaafar & Y. Mahamood, Z. Ishak (Eds). Menongkah arus
globalisasi: Isu-isu psikologi di Malaysia dan Indonesia (pp. 205 – 2017).
Kuala Lumpur: University Malaya
Russell, J.E.A. (2008). Promoting subjective well being at work.
Journal of Career Assessment, 16, 117 – 131. Doi: 10.1177/1069072707308142.
Sheldon,
Kennnon, M., Elliot, Andrew., Ryan,
Richard, M., Chirkov, Valery., Kim, Youngmee., Wu, Cindy., Demir, Meliksah.,
& Sun, Zhigang. (2004). Self-Concordance
and Subjective Well-Being in Four Cultures. Journal Of Cross Cultures
Psychology, Vol.35, No.2 University of Columbia