Pengertian Biarawati

Pengertian biarawati seperti yang dikemukakan Aleksander (2007) adalah seorang perempuan yang hidup di biara yang secara sukarela meninggalkan kehidupan duniawi dan memfokuskan dirinya dan hidupnya untuk kehidupan agama di suatu tempat ibadah. Seorang biarawati diikat oleh ‘tri suci’ atau janji suci yang harus ia patuhi seumur hidupnya (Aleksander, 2007).
Ketiga janji atau kaul yang harus mereka patuhi adalah sebagai berikut:
Kemiskinan
Menurut Aleksander (2007) kemiskinan berarti membebaskan manusia dari keterikatan pada harta milik, materi dan menyatakan solider dengan orang yang hidup sederhana. Dengan tidak terikat pada penggunaan hal – hal duniawi, biarawati dapat bebas bekerja dan terbuka akan sabda Ilahi. Dalam kaul kemiskinan ini, biarawati tetap dapat menggunakan hal – hal duniawi namun penggunaan hal – hal duniawi tidak boleh merugikan perutusan seorang biarawati.
Biarawati sadar bahwa kekayaan sejati adalah Tuhan, dengan demikian biarawati tidak meremehkan dan tidak menolak harta duniawi tetapi menggunakan harta tersebut sebagai sarana membina hubungan dengan Tuhan melalui pelayanan rohani yang diberikan kepadanya. Kekayaan duniawi tidak pernah boleh menggantikan posisi sebagai sarana pelayanan rohani ini (Jacobus, 2007).
Biarawati berpartisipasi dalam semangat kemiskinan untuk pelayanan, dimana barang duniawi tidak menjadi penghalang bagi biarawati untuk melakukannya. Semangat kemiskinan dari seorang biarawati sangat berguna untuk kesejahteraan gereja dan karya cinta kasih (Jacobus, 2007).
Sesuai dengan kaul kemiskinan, seorang biarawati tidak diperkenankan untuk memperkaya diri dan memperkaya kaum kerabat. Biarawati boleh menjadi perantara antara orang kaya dan orang miskin, dalam bentuk meneruskan bantuan dari orang kaya kepada orang miskin. Biarawati mengingatkan orang kaya bahwa dengan memberi justru manusia mengalami kebahagiaan dalam hidupnya, dan bahwa kekayaan sejati berada dalam jiwa manusia, bahwa manusia haruslah menjadi saluran rahmat Tuhan bagi sesamanya.
Jacobus (2007) juga menambahkan bahwa tantangan utama terhadap semangat kemiskinan adalah materialism dimana harta milik dan kekayaan menjadi ukuran martabat manusia. Materialisme bisa membuat individu melupakan dimensi yang lain seperti hubungan personal, religiusitas, kehidupan rohani, sikap hormat dan semangat pelayanan. Bila tidak hati –hati materialism pun dapat tertular pada diri seorang biarawati. Biarawati bisa terjebak dalam kegiatan duniawi untuk mendapatkan keuntungan dan tambahan penghasilan.
Ketaatan
Aleksander (2007) menyatakan bahwa ketaatan berarti kesediaan menjalankan kehendak Ilahi sebagaimana diatur dan diperintahkan oleh atasan. Hal ini selaras dengan pandangan Jacobus (2007) bahwa setiap biarawati menjanjikan ketaatan kepada uskupnya atau pemimpinnya. Panggilan seorang biarawati adalah untuk melaksanakan kehendak Tuhan, oleh karena itu, seorang biarawati tidak mencari dan melaksanakan kehendaknya sendiri. Seorang biarawati haruslah berusaha berpikir dan berkehendak sesuai dengan pikiran Tuhan, mencari kehendak tersebut melalui ajaran tradisi Gereja dan Kitab Suci.
Jacobus (2007) mengatakan bahwa ketaatan seorang biarawati mencontohi ketaatan Yesus yang bukan taat hanya dalam kegembiraan hidup tetapi juga dalam penderitaan, yang tidak saja dalam hidup enak tetapi juga dalam memikul sedih. Oleh karena itu, seorang biarawati menerima keputusan uskup atau pemimpinnya dengan senang hati karena bagaimanapun, keputusan biarawati tidak dapat terlaksana kecuali dalam kesatuan dengan pemimpinnya.
Paham ketaatan yang dijalani oleh biarawati ini memiliki nilai manusiawi dan kristiani. Menurut Jacobus (2007) ketaatan ini sebenarnya menampakkan keindahan kebebasan, karena merupakan bentuk ketaatan yang bukan seperti ketaatan seorang budak yang taat karena takut akan hukuman, tetapi ketaatan insan merdeka yang bertanggungjawab dan dijiwai sikap saling mempercayai. Dengan demikian, walaupun diikat oleh kaul ketaatan, seorang biarawati diharapkan tetap memiliki sikap mandiri, kreativitas, kesanggupan berprakarsa, kesadaran bertanggungjawab dan ketaatan demi kepentingan umum dan juga bagi sesama.
Kemurnian
Menurut Jacobus (2007), kemurnian atau hidup wadat (selibat) merupakan status tidak kawin karena alasan – alasan religius. Setiap biarawati harus bersedia hidup selibat. Pandangan ini selaras dengan Aleksander (2007) yang menyatakan bahwa kemurnian berarti secara khusus tidak menikah, mendorong mereka merindukan kebersamaan dalam komunitas “kerajaan surga”, tidak memfokuskan cinta pada seseorang tetapi cinta kepada orang sebagai saudara demi mencapai nilai – nilai keilahian. Ditambahkan pula oleh Jacobus (2007) bahwa dengan kaul kemurnian para biarawati akan lebih mudah mendekatkan diri dengan Tuhan dan bebas mengabdikan dirinya pada Tuhan.
Selain itu, sebagai sebuah pola hidup, selibat berfungsi melayani imamat. Selibat juga dapat mengantar biarawati kepada kekudusan yang secara bertahap mempererat hubungannya dengan Tuhan (Jacobus, 2007).
Dalam kehidupan selibat seorang biarawati harus menjalin hubungan yang baik dengan rekan – rekan biarawati lainnya. Mereka harus saling mendukung dan saling menguatkan, menjalin rasa persaudaraan yang akrab, hangat, dan menyenangkan sehingga mereka tidak merasa kesepian (Jacobus, 2007).

2 Komentar

  1. asik... dapat ajaran ilmu agama kristen..
    unsur terpenting di dalam anggota gereja..
    :D

    BalasHapus
  2. walau pun agama saya bukan keris ten akan tetapi saya menghargai.

    Artikel yang bagus dan berguna untuk saya baca. Semoga bermanfaat bagi orang banyak yang membaca artikel ini. Terimakas atas informasi yang diberikan.

    Kunjungan balik blog .

    BalasHapus
Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال