Perkembangan Harga Diri

Harga diri bukanlah faktor yang dibawa sejak lahir namun merupakan faktor yang dipelajari dan terbentuk sepanjang pengalaman hidup individu dalam relasinya dengan dirinya sendiri maupun dengan individu yang lain. Hal ini berkaitan dengan pendapat Rogers yang dikutib Azwar (1979) yang menekankan bahwa perkembangan harga diri menekankan pentingnya arti lingkungan sosial. Herbert (dalam Azwar, 1979) mengemukakan bahwa konsep diri yang terkandung dalam harga diri berkembang sejak masa kanak-kanak melalui orang-orang yang dianggap oleh orang tersebut. Harga diri yang ada pada diri seseorang juga tidak muncul begitu saja melainkan melalui proses dan perkembangan. Gejala awal muncul harga diri pada usia 2 tahun. tapi terbentuknya lebih jelas dan dapat diamati pada usia 4 tahun (Piaget, dalam Edwina, 1994).
Konsep diri anak yang baik merupakan puncak dari pembentukan karakternya dan untuk menciptakan dasar yang baik pada hubungan pribadinya. Saat anak merasa nyaman dengan dirinya sendiri secara bertahap akan merasakan kebaikan hati dan kasih sayang terhadap orang lain. Untuk meningkatkan kepercayaan diri anak dapat dilakukan dengan usaha untuk membiasakan mencintai, menunjukkan padanya bahwa orang tua benar-benar percaya akan kemampuannya. Jika seorang anak mendapatkan kesan bahwa kita tidak percaya kepadanya maka dengan sendirinva kepercayaan terhadap dirinvapun akan berkurang. Seorang anak dapat menyadari identitas dirinya diawali pada usia 2,5 dan 3 tahun. Pada saat inilah orang tua dapat memberikan bantuan yang dapat membangun kepercayaan dirinya. Banyak anak kurang percaya diri pada saat menginjak usia sekolah, saat mereka mulai dapat membandingkan usahanya dengan anak-anak yang lain, bahkan sampai dewasa mereka tidak terlalu pasti terhadap dirinya yang ditandai dengan adanya perasaan tidak mampu dan merasa gagal. Hal ini dapat disebabkan kurangnya dukungan dan penghargaan orang tua atas usaha anak (Thomsom, 1995).
Bradashaw (dalam Retnowati, 1993) mengemukakan bahwa pembentukan harga diri diawali pada saat bayi merasakan tepukan yang pertama kali diterima dari orang yang menangani proses kelahirannya Perkembangan selanjutnya dibentuk melalui perlakuan-perlakuan yang diperoleh anak dari lingkungannya, baik keluarga. sekolah dan masyarakat.
Pola perkembangan harga diri ditandai dengan timbulnya harga diri primer, yang meliputi gambar diri secara fisik dan psikis, yang diperoleh melaui interaksi individu dengan seluruh anggota keluarganya. Kemudian dengan bertambahnya umur, anak mulai mengarahkan kontak dengan lingkungan di luar rumah. Terbentuknva harga diri sekunder, diperoleh anak melalui interaksi dengan orang lain dan merupakan refleksi dari perasaan atau sikap orang lain terhadap dirinya. Remaja yang mempunyai ketrampilan sosial seperti mudah bergaul dan mampu menyesuaian diri dengan lingkungan sosialnya akan mempunyai harga diri yang tinggi karena ia merasa mampu, diterima dan dihargai lingkungan sosialnya (Retnowati, 1993).
Rogers (dalam Retnowati, 1993) mengemukakan bahwa penghargaan orang tua atas diri anak tanpa keharusan anak untuk mengikuti apa yang diinginkan orang tua (Unconditional posotive regard) akan memberikan dukungan yang sangat positif bagi perkembangan harga diri awal. Untuk perkembangan selanjutnya harga diri seseorang ditentukan oleh penghargaan orang lain terhadap kualitas dirinya.
Coopersmith (dalam Retnowati, 1993) mendiskripsikan ada beberapa faktor yang dapat menyumbang perkembangan harga diri seseorang, yaitu:
  1. Kualitas penghargaan penerima serta perhatian yang diterima seseorang dari significant others dalam kehidupannya. Pada proses ini seseorang belajar menilai seperti halnya ia dinilai dan kemudian akan diterapkan untuk mengembangkan dirinya.
  2. Sejarah keberhasilan serta status dan kedudukan yang diraih seseorang dalam kehidupannya. Hal ini akan membentuk landasan harga diri dalam realitas sosial. Pengalaman-pengalaman historis yang mencekam dan dipandang merupakan suatu prahara bagi diri seseorang sangat menentukan proses perkembangan harga diri (Bommer, dalam Retnowati, 1993).
  3. Berkaitan dengan masalah aspirasi dan tata nilai yang diperoleh lewat penafsiran seseorang terhadap keberhasilan modifikasi pengalamannya. Keberhasilan, kekuasaan serta perhatian tidak secara langsung dan segera diterima namun disaring dan dipersepsi melalui tata nilai dan tujuan seseorang (Retnowati, 1993).

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال