Dilema Dunia Pendidikan: Membunuh Kreativitas, Menumbuhkan Mental Budak

Usia yang dihabiskan dalam bangku sekolah adalah waktu yang terlama dalam sebuah siklus kehidupan seseorang. Jika dihitung, waktu yang dihabiskan dalam sekolah sekitar 14  tahun. 2 tahun di TK, 6 tahun di SD, 3 tahun di SLTP, 3 tahun di SLTA . Ditambah dengan 4 tahun di peguruan tinggi, bagi yang sempat melanjutkan, berarti waktu yang dihabiskan semuanya dari TK hingga lulus di Perguruan Tinggi sekitar 18 tahun.  Begitu lama, sehingga sebagian besar waktu dalam usia-usia perkembangan dan pembentukan kepribadian habis di bangku pendidikan.

Menurut sebagian besar teori perkembangan, waktu-waktu inilah yang merupakan usia yang paling mempengaruhi kepribadian seseorang. Menurut teori psikoanalisia, usia tahapan perkembangan bahkan sudah tuntas jika seseorang sudah memasuki masa genital (ramaja/dewasa) sekitar usia 11 – 13 tahun. Menurut teori psikoseksual Erick Erikson, pada usia ini sudah melewati masa pencarian identitas (Identity vs Identity Confusio).

Sehingga dapat disimpulkan bahwa, usia dan waktu yang dihabiskan dalam bangku pendidikan sangat mempengaruhi kepribadian seseorang. Yang menjadi pertanyaan adalah, mengapa lulusan-lulusan dari lembaga pendidikan  sebagian besar tidak bisa berfungsi sebagai pribadi dewasa, sehingga menambah jumlah pengangguran. Ataupun sebagian besar, lulusan lembaga pendidikan (menurut beberapa survey) lebih menyukai menjadi PNS (dengan alasan lebih terjamin) daripada usaha-usaha lain yang lebih menjanjikan. Lulusan lembaga pendidikan tidak mampu bersaing ataupun menciptakan ide-ide dan kreativitas baru yang dapat menjadi tulang punggung penghasilan mereka?

Jika kita menelaah lebih jauh, dan mengingat masa-masa dibangku sekolah, ada tiga penyebab yang merupakan sumber masalah ini. dibangku sekolah ada statement dari guru/pengajar yang menekankan pada siswanya, agar selalu membenarkan perkataan/ucapan guru, Jangan menyelisihi guru, dan jangan menyimpang dari text book. Statement inilah yang merupakan sumber malapetaka, membunuh kreativitas siswa dan menumbuhkan mental budak.

Seorang siswa yang keluar di jalur ini, dianggap siswa yang susah diatur, tidak taat, tidak disiplin dan lain-lain. Sehingga siswa tersebut terkadang mendapatkan hukuman (yang biasanya juga tidak mendidik), Tidak mendapatkan perhatian dan dukungan yang sesuai dengan keinginan (minat dan bakat) siswa tersebut. Siswa diarahkan sesuai dengan keinginan guru yang biasanya pola pikirnya juga masih budak (karena juga lahir dari system sekolah perbudakan). Siswa dilarang membuat kreativitas, menekan minat mereka sehingga bakat-bakat mereka terpendam sangat dalam.

Bayangkan saja, seorang siswa dari SD hingga SLTA, harus dipaksa belajar sebuah mata pelajaran yang mereka tidak sukai, dan harus meninggalkan bakatnya untuk mejadi “siswa yang baik dimata guru” (penurut). Ini adalah sebuah musibah dalam dunia pendidikan. Pendidikan bukan lagi mengajar dan memanusiakan manusia, tetapi memperbudak manusia. Sebuah system pendidikan yang harus dibenahi.

5 Komentar

  1. Hmmm, setuju. Kalo terus-terusan begitu akan jadi sebuah pembodohan... Kalo cuma untuk belajar dengan buku (text book) tanpa masuk ke sekolah pun anak-anak bisa membaca dan belajar sendiri di rumah. Sekolah adalah tempat mereka menumpahkan apa yang menjadi keinginan mereka, bukan membatasi semua yang ingin mereka coba.

    BalasHapus
  2. setuju saya paling tidak suka disuruh-suruh ma guru cape,,,

    BalasHapus
  3. memang belajar formal di Indonesia ada unsur paksaan juga ,misalnya siswa tidak suka dan tidak mau belajar fisika tapi tetap harus belajar dengan terpaksa

    BalasHapus
  4. selalu membenarkan perkataan/ucapan guru, Jangan menyelisihi guru, dan jangan menyimpang dari text book itu dalam pembelajaran itu sudah terkikis dengan pola PAKEM (Pembelajaran Aktif Kreatif Efektif dan Menyenangkan)

    BalasHapus
  5. Seharusnya anak didik diberikan mata pelajaran khusus, minimal mulai SMP.
    Sekarang, jika anak memiliki bakat menulis, untuk apa dia belajar kimia, atau jika dia ingin menjadi pelukis, untuk apa dia belajar matematika..
    itulah yang saya rasakan saat ini, justru saat liburan saya malah bisa mengembangkan hobi saya dengan pesat.

    BalasHapus
Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال