Akurasi Test Grafis dalam Mengungkap Kepribadian di Pertanyakan



Pernahkah anda diberikan sebuah tes menggambar orang, pohon atau rumah?. Draw Person Test (Tes menggambar orang), Draw Tree Test (Tes menggambar pohon), atau HTP (Human Tree Person/ gambar rumah, pohon dan orang) adalah salah satu contoh dari tes grafis yang sangat luas digunakan di Indonesia dalam mengungkap sisi-sisi kepribadian.
Tes ini berawal dari teori yang mengatakan bahwa kepribadian manusia diprojeksikan dalam bentuk tingkahlaku. Teori Psikoanalisa mengatakan bahwa projeksi kepribadian bisa diungkap dengan memanipulasi instruksi yang tidak diketahui oleh subjek (testee), salah satu bentuknya adalah tes gambar.Memang sebuah kesulitan mengungkap kepribadian manusia yang abstrak, apalagi sisi kepribadian manusia unik dan personal. Sehingga berawal dari teori diatas, para ahli psikologi menciptakan alat tes yang bisa membaca sisi kepribadian manusia. Pada dasarnya, alat tes psikologi digunakan untuk mempermudah membaca kepribadian manusia, tetapi yang menjadi pertanyaan adalah, sisi keakuratan alat tes itu sendiri.
Dapat di prediksi bahwa dampak dari ketidakakuratan sebuah alat tes sangat besar. Apalagi sebuah alat tes psikologi dipergunakan untuk menentukan hidup seseorang. Ini akan menyangkut privasi, nama baik, normal atau tidaknya seseorang tergantung dari alat tes psikologi tersebut. Akibatnya bisa diprediksi, FATAL…!!!.
Dalam sebuah penelitian di Fakultas Psikologi UI, didapatkan bahwa tingkat validitas tes grafis yang dimaksud diatas sangat rendah. Ini membuktikan bahwa keakuratan tes grafis dipertanyakan…???. Tetapi kita masih banyak menemukan pemakaian alat tes ini secara luas di masyarakat (khususnya di Indonesia) oleh psikolog-psikolog kita di Indonesia. Ini adalah sebuah pertanyaan besar, menggunakan sebuah alat tes yang tidak valid (tidak akurat) dalam menentukan hidup seseorang.
Ada dua alasan yang membuat alat tes grafis tidak akurat dalam penggunaannya, yaitu:
a. Culture Bias
Budaya menentukan normal tidaknya seseorang, sehingga normal atau tidaknya seseorang itu adalah sebuah sikap subjektif budaya, artinya interpretasi terhadap kenormalan berbeda-beda untuk setiap budaya, bahkan bisa saja, normal di salah satu budaya, tetapi pandangan terhadap budaya lain itu adalah sebuah tingkah laku yang abnormal.
Tes grafis dibuat di Barat, tentunya dengan menggunakan standar kenormalan nilai-nilai yang di anut di Barat. Kita berikan salah satu contoh, misalnya pemakaian penutup kepala (misalnya jilbab) di timur, dalam interpretasi alat tes grafis, ini adalah sebuah penyimpangan tingkahlaku yang diungkap dalam tes grafis. Menutupi kepala adalah menutupi kekurangan, tidak terbuka, atau ada sesuatu hal yang membuat orang tersebut tidak menampilkan apa adanya. Ini adalah salah satu interpretasi dalam menutupi kepala pakai (jlbab). Bandingkan dengan budaya timur (Agama Islam), memakai jlbab adalah sebuah hal yang ideal, normal, bahkan nilai dalam Agama Islam mengharuskan memakaianya, artinya yang tidak memakai adalah sebuah keabnormalan dalam budaya Islam. Ini adalah salah satu contoh dari interpresi Tes Grafis yang bias budaya.
b. Habitual Personal Bias
Kebiasaan setiap orang akan berbeda. Dari jenis kebiasaan yang berbeda diberikan sebuah stimulus yang sama, tentunya akan memberikan respon yang berbeda pula, tergantung dari referensi yang dimiliki oleh individu yang bersangkutan.
Seseorang yang sudah terbiasa menggambar, apalagi seorang pelukis akan berbeda dengan orang yang memang sejak lahir jarang atau tidak pernah melakukan kegiatan ini. Memang, dalam tes Grafis yang di nilai bukan bagus tidaknya gambar, yang dihasilkan, tapi bagaimana seseorang menarik garis dalam membentuk gambar, tetap saja unsur kebiasaan sangat berpengaruh.
Sikap dan kebiasaan masyarakat di timur dalam mengungkapkan perasaan sangat berbeda di barat. Masayarakat di timur, kepribadian adalah sebuah aib yang harus dijaga, ditutupi. Berbeda dengan budaya di barat, kepribadian cenderung terbuka, asertif, katakan suka kalau suka, dan katakan benci jika benci.
Dengan menggunakan interpretasi yang sama, dalam menggungkap kepribadian yang berbeda dan latar belakang budaya yang berbeda, tentunya akan menghasikan interpretasi yang bias. Memang sudah ada usaha dalam adaptasi alat tes untuk menjaga bias-bias diatas, tetapi pada alat Tes Grafis saya belum pernah mendengarnya.
Alangkah bijaknya jika alat tes grafis diadakan uji validitas ulang untuk mengetahui tingkat keterpercayaannya. Apalagi alat tes ini masih banyak di gunakan di sekitar kita, tentunya akan merugikan pihak pengguna alat tes ini. Tetapi disinyalir bahwa, tes Grafis mempunyai tingkat akurasi rendah, berdasarkan logika-logika yang ada.
Silahkan kita buktikan keakuratan tes ini, atau adaptasi ulang alat tes, ataupun berhenti menggunakan alat tes Grafis…, jangan biarkan user jadi korban….!!!

Ardi al-Maqassary

"Aku melihat, diujung sana, ada setitik cahaya yang terang benderang. Akan kuraih cahaya itu, dan membagikannya kepada seluruh manusia!!!"

4 Komentar

  1. artikel bagus sekali nih............mmg seharusnya test seperti ini ditiadakan saja, buang-buang waktu, uang dan energi

    BalasHapus
  2. Alhamdulillah, saya belum pernah dites pakai alat tes Grafis. Dan insya Allah saya tak akan pernah menggunakan alat tes Grafis.

    BalasHapus
  3. artikelnya sangat bagus dan memang itu kan masalah tes grafis di indonesia, tapi yang perlu jadi catatan penelitiannya tolong ditulis lebih jelas siapa penelitinya dan dimasukan ke jurnal mana, kita bicarakan validitas sesuatu tapi kevalidan penelitiannya juga kurang tercantum terimakasih..

    BalasHapus
  4. Tes grafis memang memiliki cukup banyak kelemahan. Tapi untuk mengintervensi atau mendiagnosa tidak bisa hanya berpegang pada tes grafis saja. Jadi harus diringi dengan tes-tes psikologi yang lainnya dan diperlukan crosscheck yang mendalam agar validitasnya pun bisa dipertanggungjawabkan nantinya.

    BalasHapus
Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال