KEKERASAN DAN BUDAYA KEKERASAN

APA ITU KEKERASAN?
Kekerasan (violence, bahasa Inggris) berasal dari kata latin violentus , berasal dari kata vi atau vis yang berarti kekuasaan atau berkuasa. Kekerasan merupakan cerminan dari tindakan agresi atau penyerangan kepada kebebasan atau martabat seseorang oleh perorangan atau sekelompok orang. Kekerasan dapat juga diartikan sebagai tindakan yang sewenang-wenang dan menyalahgunakan kewenangan secara tidak absah.
Kekerasan adalah tingkah laku agresif yang dipelajari secara langsung, yang sadar atau tidak sadar telah hadir dalam pola relasi sosial seperti keluarga sebagai unit paling kecil hingga kelompok-kelompok sosial yang lebih kompleks. Kekerasan terjadi dalam berbagai bidang kehidupan sosial, politik ekonomi dan budaya.
Bentuk kekerasan banyak ragamnya, meliputi kekerasan fisik, kekerasan verbal, kekerasan psikologis, kekerasan ekonomi, kekerasan simbolik dan penelantaran. Kekerasan dapat dilakukan oleh perseorangan maupun secara berkelompok, secara serampangan [dalam kondisi terdesak] atau teroganisir.
KEKERASAN DAN PERILAKU MENYIMPANG
Kekerasan juga diidentikkan dengan perilaku menyimpang. Tuti Budirahayu (2004) dalam buku “Sosiologi” menjelaskan, perilaku menyimpang merupakan perilaku yang dianggap tidak sesuai dengan kebiasaan, tata aturan atau norma sosial yang berlaku (nonconform), tindakan anti sosial (melawan kebiasaan masyarakat atau kepentingan umum dan tindakan kriminal (pelanggaran aturan hukum, mengancam jiwa dan keselamatan orang lain).
Penentuan siapa yang bisa disebut memiliki perilaku menyimpang sangat relatif karena norma-norma yang mengatur perilaku juga bervariasi. Perilaku ini dapat dikenali dari reaksi orang lain (masyarakat) jika norma telah ditetapkan dan penyimpangan telah diidentifikasi.
Seseorang menjadi penyimpang karena proses interaksi dan intepretasi tentang kesempatan bertindak menyimpang, pengendalian diri yang lemah dan kontrol masyarakat yang longgar (permisif). Perilaku menyimpangan yang dilakukan kelompok disebut dengan subkultur menyimpang. Subkultur menyimpang memiliki norma, nilai, kepercayaan,kebiasaan atau gaya hidup yang berbeda dari kultur dominan. Subkultur misalnya, komunitas biker, rider, kelompok drugusers, kelompok homoseksual, kelompok punk, dan sebagainya.
Teori Yang Berkaitan Dengan Perilaku Menyimpang :
1. Teori Anomie
Pandangan ini dikemukakan oleh Robert Merton yang menyatakan, perilaku menyimpang terjadi akibat adanya berbagai ketegangan dalam struktur sosial sehingga ada individu-individu yang mengalami tekanan dan akhirnya menjadi penyimpang.
2. Teori Belajar ( Teori Sosialisasi)
Edwin H.Sutherland menyatakan teorinya asosiasi diferensial yaitu penyimpangan itu adalah konsekuensi dari kemahiran dan penguasaan atas suatu sikap atau tindakan yang dipelajari dari subkultur atau teman-teman sebaya yang menyimpang.
3. Teori Labeling (teori pemberian cap atau teori reaksi masyarakat)
Becker menyatakan teori bahwa penyimpangan merupakan suatu konsekuensi dari penerapan aturan-aturan dan sanksi oleh orang lain kepada seorang pelanggar. Misalnya Seseorang yang terlanjur dilabelkan atau dicap negatif sebagai pemabuk maka orang itu justru minum sebanyak-banyaknya untuk mengatasi penolakan masyarakat terhadap dirinya.
4. Teori Kontrol
Teori ini muncul karena adanya pandangan yang mengasumsikan bahwa setiap orang cenderung tidak patuh pada hukum atau untuk memiliki dorongan pelanggaran pada hukum. Hirshi menyatakan empat unsur pengikat sosial (sosial bond) yang berfungsi sebagai pengendali perilaku individu yaitu : attachment (kasih sayang), commitmen (tanggung jawab), involvement (keterlibatan), believe (kepercayaan, kepatuhan, kesetiaan).
5. Teori Konflik
Teori ini menyatakan bahwa kelompok elite dengan kekuasaannya menciptakan peraturan, khususnya hukum, untuk melindungi dan memenangkan kepentingan mereka. Persaingan kepentingan mengakibatkan terjadinya konflik antara kelompoks atu dan kelompok lainnya. (menurut : Quinney, Clinnard dan Meier).
APAKAH KEKERASAN ITU BUDAYA?
Ya. Kekerasan itu budaya, jika dilihat dari pengertian budaya sebagai sebuah cara hidup menurut Raymond Williams (pemikir kajian budaya/cultural studies dari Inggris). Budaya menurut Kephart meliputi adat istiadat / kebiasaan, nilai-nilai, pemahaman yang sama yang menyatukan sebagai masyarakat (Chaney, 2006).
Jelas, pada banyak sisi kehidupan kekerasan itu menjadi budaya. Tafsir terhadap kekerasan itu sangat subyektif, bersifat kultural dan tergantung pada keyakinan, pandangan, nilai atau norma yang diyakini kelompok-kelompok masyarakat. Motivasi kekerasan ditujukan untuk: bertahan hidup (survival), memenuhi kebutuhan atas hasrat [libido] kekerasan, melanggengkan kekuasaan, mempertahankan diskriminasi dan stratifikasi sosial.
Sebagai cara hidup, budaya kekerasan itu: dipelajari, diadopsi, dibiakkan, dikonsumsi dipertunjukkan, didistribusikan atau bahkan dijadikan komoditas fetishme [pemuas birahi kekerasan, seperti penjualan alat-alat kekerasan seksual bagi para sadomasokis].
APAKAH BUDAYA KEKERASAN ITU?
Budaya Kekerasan terjadi, ketika kekerasan (violence), ketakutan (horror) dan teror berkonspirasi membentuk perilaku yang menyimpang dan menjadi praksis kehidupan masyarakat. Kekerasan dianggap hal yang biasa karena menjadi komsumsi pikiran dan termanifestasi dalam tindakan sehari-hari.
Media massa memberikan kontribusinya yang sangat besar dalam mendistribusi kekerasan. Rumah-rumah produksi berlomba-lomba menyajikan tayangan sinetron, reality show yang sarat dengan caci maki, intrik jahat, kisah yang menampilkan darah dan airmata, penindasan dan berbagai kekerasan lainnya.
Yasraf Amir Piliang (Alfatri Adlin, 2006:201) menuding modernisasi dunia ketiga menimbulkan banyak kesenjangan dan penderitaan sosial seperti: penggusuran, pengusiran, perampasan hak milik dan pemerkosaan hak hidup. Fenomena ini disebut sebagai horror-culture yaitu kecenderungan dimana ketakutan dan horor dijadikan elemen utama pembentuk budaya. Horror culture meliputi :
  1. Horrosophy yaitu wacana pemikiran dan pemikiran dalam menciptakan konsep-konsep yang tujuannya menimbulkan rasa takut. [Misalnya wacana tentang G30S PKI, wacana tentang pendatang, pemulung, kesepekan, dsbnya] 
  2. Horrography yaitu strategi untuk memproduksi rasa takut. Strategi ini sejalan dengan pemikiran filsuf Perancis, Pierre Bordieu yaitu kekerasan simbolik, sebuah kekerasan yang dilakukan dengan cara halus melalui suatu mekanisme tertentu (misalnya mekanisme kekuasaan) sehingga tidak tampak sebagai kekerasan. [Gramsci menyebutnya sebagai hegemoni] 
  3. Horrocracy sebuah sistem pemerintahan dimana kekuasaan tertinggi terletak pada sebuah kekuatan yang memproduksi dirinya melalui cara-cara kekerasan, terror, dan prinsip ketakutan [contoh: mobilisasi massa mengatasnamakan adat untuk mengucilkan, melakukan pelarangan jenasah di Bali, pecalang yang menyidak penduduk] 
  4. Horronomics sebuah sistem dengan tindakan ekonomi yang dalam proses produksi dan distribusinya menggunakan cara-cara kekerasan dan terror untuk menimbulkan rasa takut terhadap pihak lain [bakso krama bali dalam konteks persaingan usaha antaretnis]
AKAR MASALAH KEKERASAN
“The Roots of Violence: Wealth without work, Pleasure without conscience, Knowledge without character, Commerce without morality, Science without humanity, Worship without sacrifice, Politics without principles.”— Mahatma Gandhi (1869-1948)
Gandhi mengasumsikan akar dari kekerasan terjadi ketika sebuah kehidupan tidak dilandasi hukum dan etika sosial. Burhanuddin Salam (1997: 129-136; Black, 1976:2) menyatakan, hukum adalah peraturan yang dibuat oleh pemerintah atau oleh suatu badan yang digunakan sebagai alat untuk mengatur kehidupan warganya.
Hukum dan etika pada dasarnya memiliki kesamaan yaitu bersumber dari pengalaman dan ditujukan untuk mengatur tertib hidup bermasyarakat. Keduanya, baik hukum dan etika membatasi gerak, hak dan wewenang seseorang dalam pergaulan hidup. Bedanya, hukum biasanya tertulis, objektif, tegas, menuntut, memerlukan alat negara dan bukti untuk menjatuhkan sanksi. Sedangkan etika timbul dari tata kesopanan yang tidak tertulis dan menjadi kebiasaan, bersifat fleksibel dan sifatnya sebagai tuntunan, dan landasan tingkah laku adalah kesadaran.
Akar kekerasan lain juga disebabkan karena kemiskinan. Donald Black (1976:30) dalam teori tentang perilaku menyimpang (theory of deviant behavior) menyatakan, seseorang yang kesejahteraan terampas cenderung akan berperilaku yang menyimpang, agresif dan memiliki kecenderungan terlibat dalam bisnis yang terlarang, melakukan kekerasan dan perusakan (vandalism).
FENOMENA [PRODUK] HUKUM DAN KEADILAN SEMU (PSEUDO OF JUSTICE)
Tuti Budirahayu (2004:98) mengutip pandangan Karl Marx yang melihat korelasi produk [teks] hukum dengan kepentingan para kapitalis yang didukung oleh agen pelaku kontrol sosial seperti polisi, pengadilan dan sistem penjara/ lembaga pemasyarakatan.
Menurut Marx, kapitalisme mengembangbiakkan hukum-hukum kriminal karena hukum tersebut dibutuhkan untuk memelihara tatanan yang mapan, yang datang dari kelas atas melawan kelas bawah. Dan peran negara tidak netral karena, sesungguhnya peran negara ditujukan untuk melayani dan melindungi orang-orang yang membuat peraturan serta menghindarkan mereka dari ancaman-ancaman orang atau kelompok lain.
Gejala perilaku [agen penegak] hukum hari ini sangat terkait dengan pasar. Tafsir teks hukum diperdagangkan para makelar kasus. Kekuatan uang dijadikan kunci sukses dalam memenangkan perselisihan hukum. Donal Black (1976) mengingatkan, perlakuan hukum memang kerap bersifat diskriminatif. Mereka yang berasal dari kalangan yang kurang mampu (miskin) yang mengalami kasus hukum umumnya sulit mendapatkan pelayanan hukum apalagi keadilan. Jasa pengacara lebih banyak diperlukan oleh mereka yang berduit alias memiliki kapital. Putusan yang dijatuhkan kepada mereka yang miskin cenderung lebih berat jika dibandingkan dengan seseorang yang berasal dari keluarga yang memiliki akses politik yang luas dan uang. Pada banyak hal, mereka yang memiliki modal kapital cenderung menang di pengadilan dan ini merupakan wajah keadilan yang semu (pseudo of justice).
SARAN: REFORMASI PENEGAKAN [SISTEM] HUKUM
Sebagai sistem, penegakan hukum melibatkan berbagai komponen, seperti: ideologi (norma, nilai), institusi penegak hukum (kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan), masyarakat.
Penegakan [sistem] hukum dapat dilakukan dengan memperbaiki pola relasi keluarga, mempersempit jarak sosial dan meningkatkan komunikasi positif dan mengembangkan etika sosial. Paradigma hukum seharusnya mengikuti dinamika masyarakat yang berubah dan dinamis. Misalnya, reformasi teks hukum yang tidak sesuai dengan semangat jaman sebaiknya dihapus [seperti penghapusan hukuman mati].
Reformasi institusi penegak hukum diperlukan khususnya dalam efisiensi birokrasi, evaluasi efektifitas dan efisiensi kinerja berbasis good government dan clean governance, serta pembatasan wewenang aparat agar tidak bertindak secara absolut dan sewenang-wenang. Sosialisasi Hukum dan HAM bagi masyarakat harus dilakukan secara aktif oleh pemerintah dan lembaga sosial yang terkait.

Daftar Bacaan
Adlin, Alfatri. 2006.Spiritualitas dan Realita Kebudayaan Kontemporer. Yogyakarta: Jalasutra
Black, Donald.1976. The Behavior of Law. London : Academic Press
Budirahayu, Tuti.2004. Perilaku Menyimpang. Jakarta: Prenada Media
Chaney, David.1996. Lifestyles. Yogyakarta: Jalasutra
Salam, Burhanuddin.1997. Etika Sosial—Asas Moral Dalam Kehidupan Manusia.Jakarta: Rineka Cipta
Makalah ini disajikan dalam diskusi panel regular di LBH Bali, 31 Maret 2011 —Tema : Reformasi Penegakan Hukum

Narasumber : : Ida Ayu Made Gayatri, S.Sn., M.Si (Mahasiswa Program Doktoral (S3) Kajian Budaya Unud & Ketua NAPI (National Alliance for Prisoner in Indonesia) Bali Region)

Ardi al-Maqassary

"Aku melihat, diujung sana, ada setitik cahaya yang terang benderang. Akan kuraih cahaya itu, dan membagikannya kepada seluruh manusia!!!"

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال