Nikah Mut'ah dalam Pandangan Ahlussunnah


Nikah Mut'ah dalam dandangan Ahlussunnah berpendapat bahwa nikah mut'ah pernah dihalalkan sebelum kemudian hukum halal itu mansukh dan menjadi haram sampai hari kiamat. Dasar pijakan ahlussunnah wal jamaah adalah surat An-Nisa ayat 4 sebagai berikut :
وَمَن لَّمْ يَسْتَطِعْ مِنكُمْ طَوْلاً أَن يَنكِحَ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ فَمِن مَّامَلَكَتْ أَيْمَانُكُم مِّن فَتَيَاتِكُمُ الْمُؤْمِنَاتِ   ......
Artinya : “Dan barangsiapa di antara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaanya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman, dari budak-budak yang kamu miliki….”
Ibnu Katsir menerangkan ayat ini dalam tafsirnya1 :
Barang siapa yang belum mampu menikahi wanita muslimah merdeka yang menjaga kesuciannya maka nikahilah budak wanita yang beragama Islam….
Jika memang nikah mut'ah diperbolehkan pasti telah disebutkan oleh Allah sebagai alternatif bagi mereka yang tidak mampu menikah secara finansial. Sedangkan dari segi finansial nikah mut'ah tidaklah semahal pengeluaran yang ditimbulkan oleh nikah yang dikenal dalam Islam.
Artinya : “dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela.)”
Ibnu Katsir menerangkan makna ayat ini 2 :
Yaitu mereka yang menjaga kemaluan mereka dari perbuatan haram, mereka tidak melakukan perbuatan yang diharamkan Allah yaitu perbuatan zina dan hubungan sejenis, mereka hanya menggauli istri dan budak mereka yang mana telah dihalalkan oleh Allah bagi mereka. Barang siapa melakukan perbuatan yang dihalalkan Allah maka dia tidak dicela lagi berdosa.
Allah menerangkan sifat orang beriman bahwa mereka menjaga kemaluan mereka dari berzina. Namun diberikan oleh Allah jalan keluar yaitu dengan menikah atau memiliki budak. Jika nikah mut'ah menjadi jalan keluar yang benar pasti disebutkan oleh Allah sebagai tempat penyaluran nafsu syahwat yang diperbolehkan di sini. Nikah mut'ah jelas berbeda dengan pernikahan biasa dan perbudakan. Nikah mut'ah adalah bentuk pernikahan yang selesai dengan sampai waktu yang disepakati kedua pihak. Sementara ikatan pernikahan yang dikenal dalam Islam tidak terlepas dengan berlalunya waktu, namun dengan perceraian. Mut'ah juga tidak sama dengan perbudakan, karena perbudakan adalah status dimana seorang wanita menjadi milik seseorang. Perbudakan akan terhenti dengan pemerdekaan oleh pemiliknya, bukan dengan berlalunya waktu yang disepakati oleh kedua belah pihak.
Memang nikah mut’ah ini pernah dibolehkan ketika awal Islam, tapi kemudian diharamkan, sebagaimana dinyatakan oleh al-Imam an-Nawawi dalam kitabnya Syarh Shahih Muslim:
وَالصَّوَاب الْمُخْتَار أَنَّ التَّحْرِيم وَالْإِبَاحَة كَانَا مَرَّتَيْنِ، وَكَانَتْ حَلَالًا قَبْل خَيْبَر ، ثُمَّ حُرِّمَتْ يَوْم خَيْبَر، ثُمَّ أُبِيحَتْ يَوْم فَتْح مَكَّة وَهُوَ يَوْم أَوْطَاس، لِاتِّصَالِهِمَا، ثُمَّ حُرِّمَتْ يَوْمئِذٍ بَعْد ثَلَاثَة أَيَّام تَحْرِيمًا مُؤَبَّدًا إِلَى يَوْم الْقِيَامَة، وَاسْتَمَرَّ التَّحْرِيم
Artinya:
Yang benar dalam masalah nikah mut’ah ini adalah bahwa pernah dibolehkan dan kemudian diharamkan sebanyak dua kali; yakni dibolehkan sebelum perang Khaibar, tapi kemudian diharamkan ketika perang Khaibar. Kemudian dibolehkan selama tiga hari ketika fathu Makkah, atau hari perang Authas, kemudian setelah itu diharamkan untuk selamanya sampai hari kiamat”.
Alasan kenapa ketika itu dibolehkan melaksanakan nikah mut’ah, karena ketika itu dalam keadaan perang yang jauh dari istri, sehingga para sahabat yang ikut perang merasa sangat berat. Dan lagi pada masa itu masih dalam masa peralihan dari kebiasaan zaman jahiliyah. Jadi wajar jika Allah Swt memberikan keringanan (rukhshah) bagi para sahabat ketika itu3.
Seluruh Imam Madzab menetapkan nikah mut’ah sebagai haram. Alasannya adalah:
Nikah mut’ah tidak sesuai dengan yang dimaksudkan oleh Al-Qur’an, juga tidak sesuai dengan masalah yang berkaitan dengan talak, iddah, dan kewarisan. Jadi, pernikahan seperti itu batal sebagaimana bentuk pernikahan lain yang dibatalkan Islam.
Banyak hadits yang dengan tegas menyebutkan haramnya nikah mut’ah. Dalam suatu hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah, Rasulullah Saw mengharamkan nikah mut’ah dengan sabdanya:
يٰا اَيُّهَا النَّاسُ اِنِيّ كُنْتُ اَذَنْتَ لَكُمْ فِي اْلِاسْتِمْتَاعِ اَلاَ وَاَنَّ اللهَ قَدْ حَرَّمَهَا اِلىَ يَوْمِ اْلقِيَامَةِ                                                         
Artinya:
Wahai manusia! Aku pernah mengizinkan kamu nikah mut’ah, tetapi sekarang ketahuilah bahwa Allah telah mengharamkannya sampai hari kiamat”.
Umar ketika menjadi khalifah berpidato dengan menyatakan keharaman nikah mut’ah ketika itu para sahabat langsung menyetujuinya.
Al-Khathabi menyatakan bahwa nikah mut’ah telah disepakati keharamannya oleh ulama madzab, kecuali ulama Syi’ah Imam 12 yang membolehkan perkawinan ini. Dalil yang mereka rujuk adalah riwayat yang membolehkan perkawinan ini pada awal periodisasi munculnya Islam, ketika dalil yang menasakhnya belum turun.
Nikah mut’ah sekadar bertujuan pelampiasan syahwat, bukan untuk mendapatkan keturunan dan memeliharanya. Nikah mut’ah hanyalah pelampiasan nafsu yang menjadikan perempuan sebagai objek seksualitas laki-laki dengan mengatasnamakan kondisi darurat. Oleh karena itu, nikah mut’ah disamakan dengan zina, jika dilihat dari segi tujuan untuk bersenang-senang semata-mata.
Hikmah pengharaman nikah mut’ah adalah tidak terealisasinya tujuan-tujuan dasar pernikahan yang abadi dan langgeng, serta tidak bertujuan membentuk keluarga yang langgeng, sehingga dengan diharamkan, tidak akan lahir anak-anak hasil zina dan lelaki yang memanfaatkan nikah mut’ah untuk berbuat zina.
Referensi:
1 Ibnu Katsir. Tafsir Al Qur'an Al Adzim. 1992. Darul Fikr. Beirut. Jilid 1 hal 588
2 Ibid., hal. 589
3 wawanhermawan90.blogspot.com/2012/01/makalah-kawin-kontrak.html

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال