Dasar Teori Bermain Peran

Teori bermain peran merupakan salah satu metode dalam psikologi, yang di gunakan dalam proses konseling maupun terapi. Terdapat bermacam-macam pandangan mengenai cara menilai perilaku manusia. Para ahli sosiologi mempelajari perilaku individu dalam hubungannya dengan individu lain dalam peranan-peranan yang diperankannya dalam kehidupan sehari-hari di lingkungan keluarga, masyarakat dan pekerjaan. Seseorang dikatakan mempunyai penyesuaian diri yang baik apabila ia dapat berperilaku sesuai dengan peranan yang dimilikinya baik sebagai makhluk individu maupun makhluk sosial.
Individu mempelajari peranan-peranan yang berbeda dimulai sejak lahir. Seorang bayi dilahirkan di lingkungan masyarakat tertentu, ia harus belajar bahasa dan perilaku yang dituntut di masyarakat itu. Proses belajar ini berlangsung terus- menerus sesuai dengan fase-fase perkembangan yang dilalui individu yang bersangkutan. Pada dasarnya seseorang dilahirkan dengan kemampuan untuk bereaksi terhadap stimulus-stimulus dari luar dirinya secara spontan. Pribadi seorang individu berkembang melalui proses ia mereaksi terhadap stimulus- stimulus dari luar dirinya, dan bagaimana ia melakukan peranannya dalam hubungan dengan peranan orang lain dan dari status yang ia terima dalam menghadapi situasi yang berbeda-beda. Seorang individu mempunyai hubungan sosial yang baik karena ia mengerti peranannya dan peranan orang lain, serta memberikan respons yang tepat kepada orang lain.
Moreno, (Dalam Corey; 2005) menyatakan bahwa sangat pentingnya untuk belajar secara spontan dan kreatif. Moreno berpendapat bahwa spontanitas merupakan “respons yang tepat untuk menghadapi situ asi baru atau merupakan repons baru dan tepat untuk menghadapi situasi lama”. Secara analogi, bermain peran dalam hubungan antarpribadi berusaha untuk menciptakan suasana spontanitas dan kreativitas untuk menghilangkan tekanan-tekanan yang menghambat dihilangkan individu mendapat kesempatan untuk belajar dalam suasana yang bebas tanpa hambatan.
Moreno berpendapat bahwa salah satu faktor yang penting yang menentukan dalam bermain peran yang akan menghasilkan perubahan perilaku adalah pengurangan hambatan-hambatan. Hambatan-hambatan yang biasa muncul adalah perasaan takut di kritik, takut dihukum, atau ditertawakan. Hambatan- hambatan ini harus dihilangkan agar perubahan dapat terjadi. Di dalam bermain peran hambatan-hambatan tersebut dihilangkan sehingga individu dapat mengadakan eksplorasi perilaku. Sebagai hasilnya timbullah perasaan-perasaan baru dan perasaan-perasaan lama yang dihayati dalam konteks yang baru. Bermain peran menyediakan kondisi yang dapat menghilangkan rasa takut atau cemas, karena dalam bermain peran individu dapat mengekspresikan dirinya secara bebas tanpa takut kena sanksi sosial terhadap perbuatannya.
Lewin (1980; dalam Oktaviani, 2008), menyatakan perubahan perilaku atau perubahan sikap melalui bermain peran terjadi secara bertahap dan menggolongkan perubahan ke dalam tiga tahap:
  1. Pola-pola perilaku yang tidak kaku yang dimilikinya sekarang, yaitu maksudnya perilaku manusia sehari-hari merupakan perilaku yang “kaku” yang sudah terbentuk dan secara otomatis dilakukan tanpa memerlukan banyak berpikir. Misalnya, cara memberi salam pada tamu, cara menyapa orang lain, cara menerima telepon atau cara mengadakan rapat staff. Karena perilaku-perilaku tersebut dilakukan secara rutin, kemungkinan hasilnya tidak memuaskan atau mengecewakan orang lain. Individu baru mengetahui jika perilakunya tidak efektif setelah mendapat balikan atau penilaian dari orang lain. Di dalam bermain peran, tahap di mana individu menyadari pola- pola perilakunya, merupakan tahap awal kearah perubahan perilaku atau sikap. Tahap ini ditandai dengan rasa tidak enak, cemas karena mengetahui bahwa pola- pola perilakunya selama ini tidak memuaskan dan sementara itu individu belum menemukan pola-pola baru yang lebih efektif.
  2. Perubahan kearah pola-pola perilaku baru, maksudnya setelah ada kesadaran akan kebutuhan untuk mengubah perilakunya, individu harus dapat mengembangkan kesadaran ini ke arah pengertian dan pemahaman terhadap situasi masalah yang dihadapi. Pemahaman terhadap masalah yang dihadapi secara mendalam terbantu dengan jalan memerankan situasi itu dalam sebuah permainan peran. Individu dapat mencobakan perilaku baru dalam situasi yang aman. Di dalam situasi bermain peran, individu sering menerima ide-ide baru yang menakjubkan dari anggota kelompok yang lain mengenai bagaimana orang lain akan mereaksi terhadap perilakunya yang baru, sehingga ia segera dapat membuat rencana untuk menghindari hasil yang negatif.
  3. Mencobakan perilaku baru dalam kehidupan sehari-hari, dalam tahap terakhir ini pengaruh bermain peran tidak langsung dapat dilihat. Lippit dkk. (1958; dalam Oktaviani, 2008) menyatakan nilai bermain peran dalam tahap ini baru dapat dibuktikan setelah pola-pola perilaku baru itu sudah dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari. Individu yang memerankan peran yang sama dalam bermain peran dengan perannya dalam kehidupan sehari- hari akan mengalami perubahan perilaku secara lebih efektif dibandingkan dengan individu yang hanya menjadi penonton. Perubahan kearah pola perilaku yang lebih efektif ini mendapat dukungan dari kelompok karena mereka mengetahui mengapa perilaku itu harus diubah dan bagaimana proses perubahan itu terjadi. Dukungan kelompok ini sangat besar artinya bagi individu yang bersangkutan karena ia akan merasa aman dalam melaksanakan pola perilakunya yang baru.
Secara singkat dapat dikemukakan bahwa proses belajar dalam mempelajari perilaku baru atau merubah perilaku lama kearah pola perilaku baru dengan media permainan peran yaitu: (1) melakukan perilaku yang sudah jelas dan biasa dilakukan, menemukan bahwa perilaku itu tidak efektif untuk dilakukan dan mengetahui sebab-sebabnya, (2) mencoba perilaku baru yang juga tidak efektif dan menemukan cara-cara baru yang lebih efektif, (3) dan akhirnya melaksanakan pola-pola perilaku baru yang ditemukan tersebut dalam kehidupan sehari-hari.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال