Apa itu Grounded Research?

Sebagaimana jenis penelitian kualitatif lainnya, grounded research juga berangkat dari kasus yang unik, berskala mikro, berlatar alami, dengan tujuan akhir untuk menghasilkan teori (generating theory) berdasarkan data, bukan untuk membuktikan teori (verifying theory). Karena itu, jika peneliti kualitatif yang di akhir penelitiannya menyatakan bahwa teori yang dihasilkan sesuai atau tidak sesuai dengan teori tertentu tentu tidak tepat. Dengan menyatakan sesuai atau tidak sesuai dengan teori X, misalnya, maka tanpa disadari peneliti telah melakukan verifikasi atau pembuktian teori. Padahal, pembuktian teori merupakan tujuan akhir penelitian kuantitatif yang didahului dengan perumusan hipotesis. Karena itu, hipotesis mutlak diperlukan dalam penelitian kuantitatif.
Sayang, dari beberapa kali ujian setingkat skripsi, tesis bahkan disertasi pernyataan seperti itu masih sering saya jumpai. Bahkan pernah terjadi seorang mahasiswa magister dikejar pertanyaan oleh seorang penguji (tesis) tentang verifikasi teori tersebut. Dengan keringat panas dingin, mahasiswa tersebut berusaha sekuat tenaga menjawab pertanyaan sang penguji yang sejatinya salah tersebut. Dalam batin saya, ini bahayanya jika penguji metodologi tidak memahami hakikat penelitian kualitatif dengan baik. Sayangnya, antara mahasiswa dan dosennya sama-sama tidak begitu paham. Tetapi, untuk menghormati forum ujian, saya diam saja, walau sebenarnya tidak sabar juga untuk segera meluruskannya. Usai ujian, saya meluruskan pandangan dosen tersebut dengan memintanya untuk membaca tulisan-tulisan saya mengenai metodologi penelitian, khususnya kualitatif, dan membandingkannya dengan metode penelitian kuantitatif.
Kembali ke permasalahan di atas. Penelitian jenis ini (grounded) dikembangkan pada tahun 1967 oleh Barney G. Glaser dan Anselm L. Strauss dengan diterbitkannya buku berjudul The Discovery of Grounded Theory. Tetapi di Indonesia mulai dikenal sekitar tahun 1970. Kehadirannya menghebohkan para ahli penelitian kualitatif sebelumnya yang selalu berangkat dari teori untuk menghasilkan teori baru. Teori dipakai sebagai alat untuk memahami gejala atau fenomena hingga data yang diperoleh. Asumsinya, tanpa teori sebagai sebuah perspektif, peneliti tidak akan mampu memahami gejala untuk memperoleh makna (meaning), sehingga bisa jadi gejala yang penting pun untuk menjawab masalah penelitian terlewatkan begitu saja karena peneliti memiliki kelemahan atau kekurangan wawasan mengenai tema yang diteliti, baik secara teoretik atau yang disebut sebagai perspektif teoretik maupun wawasan empirik yang diperoleh dari pelacakan studi atau penelitian sebelumnya. Karena itu, perspektif teoretik dan wawasan empirik (studi terdahulu) biasanya dimuat pada Bab II yang berisi tentang  Kajian Pustaka yang dalam bahasa Inggrisnya biasanya ditulis “Review of the Related Literature”. .
Penelitian model grounded menawarkan pendekatan yang berbeda dari jenis penelitian kualitatif yang lain, seperti fenomenologi, etnografi, etnometodologi, dan studi kasus. Grounded research tidak berangkat dari teori untuk menghasilkan teori baru (from a theory to generate a new theory), melainkan berupaya menemukan teori berdasar data empirik, bukan membangun teori secara deduktif logis. Teori yang dihasilkan lewat kerja yang sistematik dan sistemik itu disebut grounded theory, dan model penelitiannya disebut grounded research.
Penelitian model grounded ini berkembang sangat pesat beberapa tahun terakhir ini, baik dari sisi kuantitas maupun bidang studi  yang menggunakannya, dari yang semula di bidang sosiologi saja sekarang sudah berkembang ke bidang-bidang lain, seperti pendidikan, ekonomi, antropologi, psikologi, bahasa, komunikasi, politik, sejarah, agama dan sebagainya.
Perkembangan penelitian model grounded yang begitu pesat bisa dipahami karena sejalan dengan hakikat dan tujuan penelitian kualitatif, di mana peneliti harus menghindarkan diri dari upaya memverifikasi teori. Menurut Glaser dan Strauss sebagai penggagasnya, dengan membawa teori atau perspektif sebelumnya untuk memahami fenomena atau bahkan data mau tidak mau peneliti tentu terjebak pada upaya memverifikasi teori. Misalnya, seorang mahasiswa Program Magister Studi Agama mengajukan penelitian dengan judul penelitian “Persepsi Santri terhadap Pola Kepemimpinan Kyai dalam Perspektif Interaksionisme Simbolik”, maka tidak bisa tidak peneliti akan melihat pola kepemimpinan kyai sebagai subjek penelitian dari sudut pandang teori Interaksionisme Simbolik. Pada akhirnya, tidak bisa dihindari pula peneliti akan melihat apakah pola kepemimpinan kyai sesuai dengan teori Interaksionisme Simbolik. Ini yang dihindari oleh grounded research.
Karena itu, grounded research melepaskan teori dan peneliti langsung terjun ke lapangan untuk mengumpulkan data. Dengan kata lain, peneliti model grounded bergerak dari data menuju konsep. Data yang telah diperoleh dianalisis menjadi fakta, dan dari fakta diinterpretasi menjadi konsep. Jadi prosesnya adalah data menjadi fakta, dan fakta menjadi konsep. Bagi .peneliti grounded, dan semua peneliti kualitatif pada umumnya, data selalu dianggap benar, walau bukan yang sebenarnya, dan karena itu untuk mengetahui atau menjadikan data menjadi data yang sebenarnya ada proses keabsahan data yang disebut triangulasi data. Karena itu, triangulasi wajib dilakukan untuk memperoleh data yang kredibel. Kredibilitas data sangat menentukan kualitas hasil penelitian.
Karena tidak berangkat dari teori, sering disebut peneliti grounded ke lapangan dengan “kepala kosong”. Sayang, dalam kenyataannya istilah “kepala kosong” disalahpahami. Maksudnya “kepala kosong” adalah peneliti tidak berangkat dari kerangka teoretik tertentu, sebagaimana contoh judul penelitian di atas, tetapi langsung terjun ke lapangan untuk mengumpulkan data. Dengan tanpa membawa kerangka teoretik atau sebuah konsep, maka diharapkan peneliti dapat memotret fenomena dengan jernih tanpa harus  memaksakan data empirik untuk menyesuaikan diri dengan konsep teoretik. Atau dengan kata-kata lain, istilah “kepala kosong” artinya adalah peneliti melepaskan sikap, pandangan, keberpihakkan pada teori tertentu Sebab, keberpihakkan semacam itu dikhawatirkan kegagalan peneliti menangkap fenomena atau data yang diperoleh secara jernih karena sudah dipengaruhi oleh pandangen sebuah teori yang dibawa.
Namun demikian, peneliti grounded tetap wajib memiliki wawasan teoretik mengenai tema yang diteliti, termasuk mengkaji hasil-hasil penelitian terdahulu. Sebab, bagaimana seorang peneliti bisa memahami gejala atau fenomena yang terjadi tanpa memiliki wawasan teoretik mengenai fenomena tersebut. Karena itu, membaca teori atau konsep terkait dengan permasalahan penelitian tetap dilakukan oleh peneliti grounded.

Oleh: Prof. Dr. H. Mudjia Rahardjo, M.Si (Tulisan ini dirangkum dari beberapa sumber, terutama buku “The Discovery of Grounded Theory” Barney G. Glaser dan Anselm L. Strauss, dan buku “Basic of Qualitative Research: Grounded Theory, Procedures and Techniques”, karya Anselm Strauss dan Juliet Corbin, oleh Penerbit Sage Publication, Inc. tahun 1990)

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال