Ada beberapa jenis-jenis kemiskinan. Ukuran
kemiskinan menurut Nurkse (dalam Lincolin Arshad, 1999), secara sederhana dan
yang umum digunakan dapat dibedakan menjadi dua pengertian, yaitu sebagai
berikut:
Kemiskinan Relatif
Kemiskinan relatif merupakan kondisi miskin
karena pengaruh kebijakan pembangunan yang belum mampu menjangkau seluruh
lapisan masyarakat sehingga menyebabkan ketimpangan distribusi pendapatan.
Standar minimum disusun berdasarkan kondisi hidup suatu negara pada waktu
tertentu dan perhatian terfokus pada golongan penduduk termiskin, misalnya 20
persen atau 40 persen lapisan terendah dari total penduduk yang telah diurutkan
menurut pendapatan/ pengeluaran. Kelompok ini merupakan penduduk relatif
miskin. Dengan demikian, ukuran kemiskinan relatif sangat tergantung pada
distribusi pendapatan/ pengeluaran penduduk sehingga dengan menggunakan
definisi ini berarti ”orang miskin selalu hadir bersama kita”.
Kenyataannya, negara kaya mempunyai garis
kemiskinan relatif yang lebih tinggi dari pada negara miskin seperti pernah
dilaporkan oleh Ravallion (1998). Paper tersebut menjelaskan mengapa, misalnya,
angka kemiskinan resmi (official figure) pada awal tahun 1990-an mendekati 15
persen di Amerika Serikat dan juga mendekati 15 persen di Indonesia (negara
yang jauh lebih msikin). Artinya, banyak dari mereka yang dikategorikan miskin
di Amerika Serikat akan dikatakan sejahtera menurut standar Indonesia.
Ketika negara menjadi lebih kaya (sejahtera),
negara tersebut cenderung merevisi garis kemiskinannya menjadi lebih tinggi,
dengan pengecualian Amerika Serikat, dimana garis kemiskinan pada dasarnya
tidak berubah selama hampir empat dekade. Misalnya Uni Eropa umumnya
mendefinisikan penduduk miskin adalah mereka yang mempunyai pendapatan per
kapita di bawah 50 persen dari media (rata-rata) pendapatan. Ketika median/
rata-rata pendapatan meningkat, garis kemiskinan relatif juga meningkat.
Untuk mengidentifikasi dan menentukan sasaran
penduduk miskin, maka garis kemiskinan relatif cukup untuk digunakan, dan perlu
disesuaikan terhadap tingkat pembangunan negara secara keseluruhan. Garis
kemiskinan relatif tidak dapat dipakai untuk membandingkan tingkat kemiskinan
antar negara dan waktu karena tidak mencerminkan tingkat kesejahteraan yang
sama (BPS, 2009).
Kemiskinan Absolut
Ditentukan berdasarkan ketidakmampuan untuk
mencukupi kebutuhan dasar minimum seperti pangan, perumahan, sandang,
pendidikan, dan kesehatan yang diperlukan untuk bisa hidup dan bekerja.
Kebutuhan dasar minimum diterjemahkan sebagai ukuran finansial dalam bentuk
uang dan nilainya dikenal dengan istilah garis kemiskinan. Penduduk yang
memiliki rata-rata pendapatan/ pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis
kemiskinan digolongkan sebagai penduduk miskin.
Garis kemiskinan absolut tetap (tidak
berubah) dalam hal standar hidup sehingga garis kemiskinan absolut dapat
membandingkan kemiskinan secara umum. Garis kemiskinan absolut sangat penting
jika seseorang ingin menilai efek dari kebijakan anti kemiskinan antar waktu,
atau memperkirakan dampak dari suatu proyek terhadap kemiskinan (misalnya,
pemberian kredit skala kecil).
Angka kemiskinan akan terbanding anatar satu
negara dengan negara lain hanya jika garis kemiskinan absolut yang sama
digunakan di kedua negara tersebut. World Bank menghitung garis kemiskinan
absolut dengan menggunakan pengeluaran konsumsi yang dikonversi ke dalam PPP
(Purchasing Power Parity/ Paritas Daya Beli). Tujuannya adalah untuk
membandingkan tingkat kemiskinan antar negara. Hal ini bermanfaat dalam
menentukan kemana menyalurkan sumber finansial (dana) yang ada, juga dalam
menganalisis kemajuan dalam memerangi kemiskinan. (BPS,2009).
Pendapatan perkapita yang tinggi sama sekali
bukan merupakan jaminan tidak adanya kemiskinan absolut dalam jumlah yang
besar. Hal ini mengingat besar atau kecilnya porsi atau bagian pendapatan yang
diterima oleh kelompok-14 kelompok penduduk yang paling miskin tidak sama untuk
masing-masing negara, sehingga mungkin saja suatu negara dengan pendapatan per
kapita yang tinggi justru mempunyai persentase penduduk yang berada di bawah
garis kemiskinan internasional yang lebih besar dibandingkan dengan suatu
negara yang pendapatan per kapitanya lebih rendah. Faktor-faktor yang
mempengaruhi kemiskinan tersebut antara lain struktur pertumbuhan ekonomi yang
berlangsung di negara yang bersangkutan, berbagai pengaturan politik dan
kelembagaan yang dalam prakteknya ikut menentukan pola-pola distribusi
pendapatan nasional.
Terminologi Kemiskinan
Lainnya
Soetandyo Wignjosoebroto dalam ”Kemiskinan
Struktural: Masalah dan Kebijakan” yang dirangkum oleh Suyanto (1995:59)
mendefinisikan ”Kemiskinan Struktural adalah kemiskinan yang ditengarai atau
didalihkan bersebab dari kondisi struktur, atau tatanan kehidupan yang tidak
menguntungkan”. Dikatakan tidak menguntungkan karena tatanan itu tak hanya
menerbitkan akan tetapi (lebih lanjut dari itu) juga melanggengkan kemiskinan
di dalam masyarakat.
Dengan kondisi struktur yang demikian itu
kemiskinan menggejala bukan oleh sebab-sebab yang alami atau oleh sebab-sebab
yang pribadi, melainkan oleh sebab tatanan sosial yang tak adil. Tatanan yang
tak adil ini menyebabkan banyak warga masyarakat gagal memperoleh peluang dan/
atau akses untuk mengembangkan dirinya serta meningkatkan kualitas hidupnya,
sehingga mereka yang malang dan terperangkap ke dalam perlakuan yang tidak adil
ini menjadi serba berkekurangan, tak setara dengan tuntutan untuk hidup yang
layak dan bermartabat sebagai manusia. Salah satu contoh adalah kemiskinan
karena lokasi tempat tinggal yang terisolasi, misalnya, orang Mentawai di
Kepulauan Mentawai, orang Melayu di Pulau Christmas, suku Tengger di Pegunungan
Tengger Jawa Timur, dan sebagainya.
Kemiskinan kultural diakibatkan oleh
faktor-faktor adat dan budaya suatu daerah tertentu yang membelenggu seseorang
tetap melekat dengan indikator kemiskinan. Padahal indikator kemiskinan
tersebut seyogyanya bisa dikurangi atau bahkan secara bertahap bisa dihilangkan
dengan mengabaikan faktor-faktor adat dan budaya tertentu yang menghalangi
seseorang melakukan perubahanperubahan ke arah tingkat kehidupan yang lebih
baik. Kemiskinan karena tradisi sosio-kultural terjadi pada suku-suku terasing
seperti halnya suku Badui di Cebeo Banten Selatan, suku Dayak di pedalaman
Kalimantan, dan suku Kubu di Jambi.
Suyanto (1995) mendefinisikan ”Kemiskinan
adalah suatu ketidakberdayaan”. Keberdayaan itu sesungguhnya merupakan fungsi
kebudayaan. Artinya, berdaya tidaknya seseorang dalam kehidupan bermasyarakat
dalam kenyataannya akan banyak ditentukan dan dipengaruhi oleh determinan-determinan
sosial-budayanya (seperti posisi, status, dan wawasan yang dipunyainya).
Sebaliknya, semua fasilitas sosial yang teraih dan dapat didayagunakan olehnya,
akan ikut pula menentukan keberdayaannya kelak didalam pengembangan dirinya di
tengah masyarakat. Seringkali timbul suatu rasa pesimis di kalangan orang
miskin dengan merasionalisasi keadaannya bahwa hal itu ”sudah takdir”, dan
bahwa setiap orang itu sesungguhnya sudah mempunyai suratan nasibnya
sendiri-sendiri, yang mestinya malah harus disyukuri. Oleh sebab itu, Soetandyo
menyarankan ditingkatkannya ”Gerakan Membudayakan Keberdayaan” pada lapisan
masyarakat bawah. Melek huruf, melek bahasa, melek fasilitas, melek ilmu, melek
informasi, melek hak, dan melek-melek lainnya.
Tags
Dinamika Sosial