Fase-fase Pernikahan

Dalam sebuah ikatan pernikahan, terdapat fase-fase pernikahan yang harus dilalui oleh kedua orang yang mengikatkan diri dalam ikatan pernikahan. Fase-fase pernikahan ini, mempunyai karakteristik masalah tersendiri, sehingga harus di hadapi dengan kematangan dan kedewasaan.
Chudori (1997) menyatakan bahwa ada beberapa fase dalam pernikahan yang tidak dapat tidak, mesti dilalui oleh setiap pasangan suami istri, antara lain:
Fase bulan madu
Dalam fase ini, keindahan suasana hari-hari pertama pernikahan masih dapat dinikmati berdua. Kemesraan yang diimpikan sebelumnya dapat lebih dirasakan berdua karena dengan dikukuhkannya ikatan pernikahan, berarti kedua insan yang saling mengasihi dan mencintai dapat memanifestasikan impiannya itu secara lebih konkrit. Tidak ada lagi batasan-batasan yang menjadi penghalang seperti ketika masih belum menikah. Fase ini merupakan masa yang indah karena masing-masing pihak berupaya untuk membahagiakan pasangannya.
Fase pengenalan kenyataan
Setelah bulan madu terlewati, kenyataan pernikahan mau tidak mau harus dihadapi. Keakraban fase bulan madu perlahan-lahan akan pudar karena masing-masing pihak harus kembali dengan kesibukannya. Suami harus bekerja di kantornya, istri pun mulai sibuk dengan hal-hal yang sama atau sibuk mengurusi pekerjaan rumah tangga. Apabila waktu suami lebih banyak di kantor, istri akan kecewa, karena istri beranggapan suami lebih mementingkan pekerjaan dari pada memperhatikan dirinya. Sebaliknya sang suami menganggap istrinya tidak lagi peduli dengan dirinya karena tidak sempat lagi mengurus tubuh dan wajahnya. Hal-hal inilah yang turut mempengaruhi kepuasan dalam pernikahan, apabila terjadi kesenjangan antara apa yang dibayangkan dengan kenyataan yang dihadapi.
Fase krisis pernikahan
Setelah menyadari kenyataan suami istri sebenarnya, bisa timbul kecurigaan satu sama lain. Bila suami kerja lembur misalnya, kadang istri curiga yang lain-lain sehingga pulang terlambat. Demikian pula jika suami terlalu lelah sehingga mengurangi aktivitas seksualnya. Hal demikian pula terjadi pada sebaliknya. Fase ini adalah masa paling rawan, sehingga apabila tidak ada kesadaran dari masing-masing pihak bahwa pernikahan tidak hanya selalu berisi kemesraan, maka bukan tidak mungkin akan mengancam kebahagiaan rumah tangga.
Fase menerima kenyataan
Setelah fase krisis pernikahan terlalui, maka masing-masing pihak sudah menerima kenyataan yang sebenarnya, baik kelebihan maupun kekurangan pasangannya. Penerimaan kenyataan ini membuat masing-masing pihak dengan kelebihan yang dimiliki berusaha untuk mengatasi kelemahan yang ada dalam diri pasangannya. Selanjutnya kelemahan masing-masing dapat dicarikan jalan keluarnya dengan baik, bukan saling menuduh ataupun saling mencurigai dan saling menyalahkan, akan tetapi saling menutupi satu sama lain, saling melengkapi kekurangan pasangan dengan kelebihan yang dimilikinya.
Fase kebahagiaan sejati
Fase ini masing-maisng pihak telah betul-betul menyadari arti sebuah pernikahan. Pernikahan tidak selamanya mulus seperti yang dibayangkan. pernikahan ada kalanya juga tersandung oleh kerikil tajam, ada gelombang- gelombang yang tidak terduga yang menghantam bahtera rumah tangga, ada perbedaan pendapat, ada duka, derita, ada suka dan yang paling penting menyadari bahwa setiap pasangan mempunyai kekurangan yang tidak mungkin dirubah. Kebahagiaan sejati bukan hanya karena keindahan, kenikmatan dan kemesraan belaka, tetapi masuk diantaranya jika keduanya mampu mengatasi persoalan yang timbul dalam rumah tangga. Mampu bahagia karena bisa menerima kekurangan pendamping hidupnya sendiri.
Lamanya fase yang dilalui oleh masing-masing pasangan memang tidak sama, ada yang singkat ada pula yang lama, sangat relatif. Semakin dewasa pola pikir, daya nalar dan kesadaran masing-masing pihak, akan semakin cepat pula pasangan suami istri mewujudkan cita-cita pernikahannya, memperoleh kebahagian sejati dalam rumah tangga. Menikmati kebahagiaan ikatan pernikahan dengan segala masalah-masalahnya.
Dalam suatu pernikahan, setiap individu akan dihadapkan pada kondisi dimana mereka bersama dengan pasangannya akan membentuk suatu keluarga baru yang akan dijalankan sepanjang kehidupan mereka.
Pollins & Feldman (1978) yang meneliti hubungan siklus kehidupan keluarga dengan kepuasan pernikahan menemukan bahwa pasangan merasa sangat puas pada tahap I, tahap II dan tahap VIII. Kepuasan pernikahan ini kemudian menurun pada tahap III dan berada pada titik terendah pada tahap VI. Data tersebut menjadi landasan bagi Clayton (1975) untuk menyimpulkan bahwa kepuasan pernikahan berhubungan dengan kehadiran anak. Kepuasan pernikahan berada pada tingkat yang tinggi terjadi sebelum hadirnya anak (tahap I dan tahap II) dan setelah anak memisahkan diri dari orangtua (tahap VIII) karena suami istri pada saat tersebut dapat merasakan kebersamaan dengan pasangannya.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال