Syi’ah Zaidiyah


Syi’ah Zaidiyah adalah Sekte  Syi’ah pengikut Zaid Bin Ali Zaenal Abidin Bin Husein Bin Ali Bin Abi Thalib yaitu saudara kandungnya Abu Ja’far Muhammad Al Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Abi Thalib   yang berkembang di daerah Yaman. Syi’ah ini lebih moderat dibandingkan dengan syi’ah yang lainnya. Menurut kelompok ini Nabi Muhammad tidak menunjuk secara Ali secara tegas dengan menyebut namanya, tapi hanya memberikan deskripsi atau isyarat yang umum. Karena itu kelompok ini tidak menganggap Sayyidina Abu Bakar, Sayyidina Umar, Sayyidina Utsman sebagai orang yang zalim dan telah merebut hak kekhalifahan Ali Bin Abi Thalib. Meskipun demikian mereka menganggap Ali tetap lebih utama.
Sejarah Timbulnya Syi’ah Zaidiyah
Zaidiyah adalah para pengikut Zaid bin Ali As-Sajjad a.s. Pada tahun 121 H., ia mengadakan pemberontakan terhadap Hisyam bin Abdul Malik, salah seorang khalifah dinasti Bani Umaiyah. Sebagian masyarakat berbai’at dengannya dan ketika terjadi peperangan di Kufah antara kelompoknya dan tentara penguasa, ia syahid. Ia dianggap sebagai imam Syi’ah yang kelima oleh para pengikutnya. Setelah ia syahid, putranya yang bernama Yahya menggantikan keududukannya. Yahya sempat mengadakan pemberontakan terhadap Walid bin Yazid. Setelah ia meninggal dunia, Muhammad bin Abdullah dan Ibrahim bin Abdullah menggantikan kedudukannya sebagai imam Syi’ah. Mereka sempat mengadakan pemberontakan terhadap Manshur Dawaniqi, salah seorang khalifah dinasti Bani Abasiyah dan terbunuh dalam sebuah peperangan.
Setelah mereka terbunuh, Zaidiyah menjalani masa-masa kritis yang hampir menyebabkan kelompok ini punah. Pada tahun 250-320 H., Nashir Uthrush, salah seorang anak cucu saudara Zaid bin Ali, mengadakan pemberontakan terhadap penguasa Khurasan. Karena dikejar-kejar oleh pihak penguasa yang berusaha untuk membunuhnya, ia melarikan diri ke Mazandaran yang hingga saat itu penduduknya belum memeluk agama Islam. Setelah 13 tahun bertabligh, ia akhirnya dapat mengislamkan mayoritas penduduk Mazandaran dan menjadikan mereka penganut mazhab Syi’ah Zaidiyah. Dengan bantuan mereka, ia dapat menaklukkan Thabaristan dan daerah itu menjadi pusat bagi kegiatan Syi’ah Zaidiyah.
Menurut keyakinan mazhab Zaidiyah, setiap orang yang berasal dari keturunan Fathimah Az-Zahra` a.s., alim, zahid, dermawan dan pemberani untuk menentang segala manifetasi kelaliman, bisa menjadi imam. Syi’ah Zaidiyah menggabungkan dua ajaran dalam mazhabnya. Dalam bidang ushuluddin ia menganut paham Mu’tazilah dan dalam bidang furu’uddin ia menganut paham Hanafiah.
Dalam masalah akidah Zaidiyah lebih condong ke arah mu’tazilah, sedangkan dalam masalah fiqh lebih mirip dengan mazhab Syafi’i.
Doktrin Imamah Menurut Syi’ah Zaidiyah
Imamah merupakan doktrin fundamental tipikal yang terdapat dalam Syi’ah secara umum. Kaum Syi’ah Zaidiyah menolak  pandangan yang menyatakan bahwa seorang imam yang mewarisi sifat kepemimpinan Rasulullah telah di teentukan nama dan orang orangnya secara jelas, tetapi hanya ditentukan sifat-sifatnya saja. Ini jelas berbeda dengan sekte Syi’ah yang lainnya yang menganggap bahwa Rasulullah menunjuk langsung Ali sebagai pengganti beliau untuk memimpin umat manusia karena Lai memiliki sifat yang tidak dimilki oleh orang lain seperti keeturunan Bani Hasyim, wara’ (shaleh, menjauhkan diri dari segala dosa), bertaqwa, baik dan membaur dengan rakyat untuk mengajak mereka hingga mengakui beliau sebagai imam.
Selanjutnya, menurut Zaidiyah seorang imam harus memilki ciri-ciri minimal sebagaii berikut:
  1. Seorang imam tersebut merupakan keturunan ahlu bait, baik dari garis keturunan Hasan maupun Husein. Hal ini mengimplikasikan penolakan kelompok ini atas sistem pewarisan dan nas kepemimpinan. Artinya kelompok ini akan menolak orang-orang yang selain keturunan Hasan dan Husein untuk menjadi pemimpin agar sistem pewarisannya pun menjadi jelas.
  2. Memiliki kemampuan mengangkat senjata sebagai upaya mempertahankan diri dan menyerang. Atas dasar ini mereka menolak mahdiisme yang merupakan ciri dari sekte Syi’ah yang lainnya baik yang ghaib maupun yang masih di bawah umur. Bagi mereka pemimpin yang menegakkan keadilan adalah pemimpin yang Mahdi.
  3. Memiliki kecenderungan intelektualisme yang dapat dibuktikan baik dalam karya dan bidang keagamaan. Mereka menolak kema’suman seorang imam dan mengmbangkan doktrin imamat al-mafdul yang berarti seseorang dapat dipilih jadi imam meskipun ia mafdul (bukan yang terbaik) meskipun di saat itu ada yang lebih afdal.

Dengan doktrin imamah seperti itu, tidak heran jika Syi’ah Zaidiyah sering mengalami krisis dalam hal keimanan. Hal ini dikarenakan terbukanya kesempatan bagi setiap keturunan ahlu al bait untuk menobatkan dirinya sebagai imam. Dalam sejarahnya krisis keimanan dalam Syi’ah Zaidiyah ini disebabkan oleh dua hal yaitu:
  1. Terdapat beberapa pemimpin yang memmproklamirkan dirinya sebagai imam dan,Tidak seorang pun yang pantas menjadi imam.
  2. Dalam menghadapi krisis ini Zaidiyah mengembangkan beberapa pemecahannya, diantaranya yaitu membagi tugas imam kepada dua individu, dalam bidang politik dan bidang ilmu serta keagamaan.

Syi’ah memang bercita-cita untuk menciptakan seorang imam yang aktif dan bukan pasif seperti imam Mahdi yang ghaib. Menurut mereka imam bukan hanya saja memiliki kekuatan rohani yang diperlukan  bagi seorang pemimpin keagamaan, tetapi juga bersedia melakukan perlawanan demi cita-cita suci demi dihormati umatnya. Selain menolak berbagai dongeng tentang kekuatan adikodrati para imam, mereka juga mengingkari sifat keilahian para imam. Imam bagi mereka adalah seorang guru dan pemimpin bagi orang muslin yang aktif dalam masyarakat serta berjuang secara terang-terangan demi mencapai cita-citanya. Dengan demikian para imam dapat berfungsi sebagai pemimpin politik dan keagamaan yang secara konkret berjuang demi umat daripada sebagai tokoh adikodrati yang suci dan tak berdosa.
Jadi dapat disimpulkan bahwa seorang imam dalam pandangan Syi’ah Zaidiyah yaitu pemimpin yang mampu membimbing mereka dalam berbagai hal baik itu dalam hal keagamaan maupun dalam hal politik.
Doktrin-doktrin Zaidiyah Lainnya
Bertolak dari doktrin tentang al-imamah al-mafdul, Syi’ah Zaidiyah berpendapat bahwa kekhalifahan Abu Bakar dan Umar Bin Khattab adalah sah dari sudut pandang Islam. Mereka tidak merampas kekuasaan dari tangan Ali Bin Abi Thalib. Dalam pandangan mereka jika ahl al hall wa’al-‘aqad telah memilih seorang imam dari kalangan kaum muslimin, meskipun ia tidak memenuhi sifat-sifat keimanan yang telah ditetapkan Zaidiyah dan telah dibaiat oleh mereka, keimanannya menjadi sah dan rakyat wajib patuh kepada mereka. Selain itu mereka juga tidak mengkafirkan seorang pun sahabat. Mengenai hal ini, Zaid sebagaimana dikutip Abu Zahrah mengatakan:
”Sesungguhnya Ali Bin Abi Thalib adalah sahabat yang paling utama. Kekhalifahannya diserahkan kepada Abu bakar karena mempertimbangkan kemaslahatan dan kaidah agama yang mereka pelihara, yaitu untuk meredan timbulnya fitnah dan memenangkan rakyat. Era peperangan yang terjadi pada masa kenabian baru saja berlalu. Pedang Amir Al Mukminin Ali belum lagi kering dari darah orang-orang kafir. Begitu pula kedengkian suku tertentu untuk menuntut balas dendam belumlah surut. Sedikitpun hati kita tidak pantas untuk cenderung ke arah situ. Jangan lagi ada leher terputus karena masalah itu. Inilah yang dinamakan kemaslahatan bagi orang mengenal dengan kelemahlembutan dan kasih sayang, juga bagi orang yang lebih tua dan lebih dahulu memeluk Islam, serta yang dekat dengan Rasulullah.”
Prinsip inilah menurut Abu Zahrah yang menyebabkan banyak orang keluar dari Syi’ah Zaidiyah. Salah satu implikasinya adalah berkurangnya  dukungan terhadap Zaid ketika ia berperang melawan pasukan Hisyam bin Abdul Malik. Hal ini wajar mengingat salah satu doktrin Syi’ah yang cukup mendasar adalah menolak pendapat bahwa kekhalifahan Abu Bakar dan Umar adalah hasil rampasan terhadap hak kekhalifahan Ali.
Penganut Syi’ah Zaidiyah percaya bahwa orang yang melakukan dosa besar akan kekal dalam neraka jika dia belum bertaubat dengan taubat yang sesungguhnya. Dalam nal ini syi’ah Zaidiyah memang dekat dengan mu’tazilah. Ini bukan sesuatu yang aneh mengingat Wasil bin Atha’, salah seorang pemimpin Mu’tazilah mempunyai hubungan dengan Zaid. Bahkan ada yang berpendapat bahwa Zaid pernah berguru kepada Wasil bin Atha’. Organisasi tarekat dilarang dalam pemerintahan Zaidiyah.
Berbeda dengan Syi’ah lain, Zaidiyah menolak nikah mut’ah. Tampaknya ini merupakan implikasi dari pengakuan mereka atas kekhalifahan Umar Bin Khattab. Seperti diketahui sebelumnya bahwa nikah mut’ah merupakan salah satu jenis pernikahan yang dihapuskan oleh khalifah Umar Bin Khattab. Penghapusan ini jelas ditolak olek sekte selain Zaidiyah. Olehnkarena itu sampai sekarang (kecuali kalangan Zaidiyah) kaum Syi’ah tetap mempraktekkan nikah mut’ah. Selanjutnya Zaidiyah juga menolak doktrin taqiyah, padahal menurut Thabathaba taqiyah merupakn salah satu doktrin yang sangat penting dalam Syi’ah.
Meskipun demikian dalam hal ibadah, Zaidiyah tetap menunjukkan simbol dan amalan-amalan syi’ah kebanyakan. Dalam adzan misalnya mereka memberi selingan ungkapan hayya ‘ala khair al-amal, takbir sebanyak lima kali dalam shalat jenazah, menolak sahnya mengusap kaus kaki (maskh al-khuffaini), menolak imam shalat yang tidak shaleh dan menolak binatang sembelihan bukan  muslim.
Berikut doktrin-doktrin yang diajarkan oleh Syi’ah Zaidiyah yakni:
  1. Condong kepada aqidah mu’tazilah dalam masalah yang berkaitan dengan Zat Allah dan pilihan dalam amalan serta hukum yang berkenaan pelaku dosa besar dan mereka menyamai pendapat mu’tazilah dalam masalah manzilah bain ala manzilatain.
  2. Mereka membolehkan Al Imamah pada semua anak-anak Fatimah sama daripada keturunan Al Imam Al Hasan atau Al Hussein.
  3. Kebanyakan mereka mengakui akan keimanan Abu Bakar dan Umar dan mereka juga tidak melaknat keduanya sebagaimana yang dilakukan oleh Rafidhah.
  4. Mereka tidak membenarkan nikah Mut’ah dan dengan demikian mereka itu mengingkarinya.
  5. Mereka berpandangan sama dengan Syi’ah Rafidhah dalam zakat Al Khumus dan bolehnya Taqiyyah dalam keadaan terpaksa.
  6. Dalam adzan mereka ditambah dengan kalimat “Hayya ‘ala khairil ‘amal” yang dalam hal ini menyamai Syi’ah Rafidhah.
  7. Mereka berpandangan shalawat tarwih adalah bid’ah.
  8. Mereka menolak sholat dibelakang imam yang fajir (dzalim)
  9. Mereka tidak mengimani aqidah Mahdi Al Muntazar.
  10. Mereka berpandangan bahwa wajibnya keluar memberontak atas imam yang dzalim dan tidak wajib taat atasnya.

Sumber:
  1. Asmuni Yusron, llmu Tauhid,1993, PT Raja Grafindo:Jakarta Utara
  2. Drs. Tgk. H.Z.A. Syihab, Akidah Ahlus Sunnah,1998, Sinar Grafika Offset:Jakarta
  3. Rozak Abdul, Anwar Rosihon, Ilmu Kalam,2011, CV Pustaka Setia:Bandung
  4. Sarkowi, Teologi Islam Klasik, 2010, Resist Literacy:Malang
  5. Ja’fari, Fadil Su’ud, Islam Syi’ah, 2010, UIN Maliki Press: Malang
  6. Syihab Quraisy, Sunnah Syi’ah, 2007, Lentera Hati: Tangerang, Jakarta

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال