Pengertian Nikah Mut’ah

Ada beberapa pengertian nikah mut’ah yang diberikan oleh ulama berdasarkan konsep hukum Islam. Nikah mut’ah atau kawin kontrak sebenarnya merupakan tradisi kaum syiah, Hal ini dimungkinkan karena adanya salah penafsiran atau pemutarbalikan ayat-ayat Al-qur’an maupun hadits Rasulullah s.a.w, oleh para mufassirin (ahli tafsir) syiah. Mufassirin syiah yang sangat terkenal dalam membela dihalalkannya nikah mut’ah adalah Fathullah Al-kasyani, sebagaimana ditulis dalam kitab tafsir Manhaj, dikatakan oleh beliau bahwa nikah mut’ah adalah keistimewaan yang diberikan kepada Rasulullah, dan barang siapa yang melakukan mut’ah sekali dalam hidupnya maka ia akan menjadi ahli surga dan orang yang mengingkari mut’ah adalah kafir murtad.
Berbagai pandanganpun muncul terhadap pelaksanaan kawin kontrak atau mut’ah mulai dari para imam – imam mazhab maupun dari para ulama, dimana terdapatnya perbedaan pandangan yang dikemukakan. Ada yang menganggap jenis perkawinan tersebut bersifat tidak sah bahkan haram hukumnya namun dalam hal ini ada juga yang memandang bahwa pelaksanaan perkawinan tersebut tidak dilarang atau dengan kata lain sah untuk dilakukan.
Menurut Syayid Sabiq, kawin mut’ah hukumnya haram, apabila sampai terjadi maka seluruh imam madzhab sepakat hukumnya tetap batal. Golongan ini mengemukakan argumentasinya dengan alasan sebagai berikut Bahwa nikah mut’ah seperti ini tidak sesuai dengan perkawinan yang dimaksudkan oleh Al-Qur’an, juga tidak sesuai dengan masalah thalak, iddah dan pusaka. Jadi nikah mut’ah bathil sebagaiman bentuk-bentuk perkawinan lain yang dibatalkan dalam Islam seperti pergundikan dan lain sebagainya Rasulullah dengan jelas mengharamkan nikah mut’ah melalui banyak hadist- hadistnya yang secara tegas menyebutkan keharamannya. Rasulullah SAW bersabda : “Wahai manusia! Saya telah pernah mengizinkan kamu kawin mut’ah. Tetapi sekarang ketahuilah bahwa Allah telah mengharamkannya sampai hari kemudian.”
 Adapun yang mempunyai pandangan bahwa nikah mut’ah dihalalkan secara mutlak datang dari sebagian sahabat seperti : Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Asma’ binti Abu Bakar ash-Siddiq, Jabir bin Abdullah, Mu’awiyah, Amr bin Harits, Ma’bad, Salamah dan Abu Said Al-Khudri. Dan sebagian dari golongan tabi’in juga ada yang menghalalkan nikah mut’ah ini, seperti : Atho’, Zaid bin Zubair, dan Tawus. Dan masih ditambah seluruh ulama fiqh Makkah dan golongan Syi’ah Imamiyah. Golongan ini berpedoman pada Surat An-Nisa’ ayat 24.
“Dan (diharamkan juga kamu mengawini)wanita yang bersuami, kecuali budak- budak  yang  kamu  miliki)  Allah  telah  menetapkan  hukum  itu  sebagai ketetapanNya atas kamu Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian yaitu mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) diantara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya.(dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban dan tidaklah  mengapa  bagi  kamu  terhadap  sesuatu  yang  kamu  telah  saling merelakannya,  sesudah  menentukan  mahar  itu.  Sesungguhnya  Allah  Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. ”  (Depag, Al-Qur’an dan Tarjamahnya,CV Jaya Sakti,Surabaya,1984, h. 526). Menurut pandangan mereka melakukan nikah mut’ah adalah halal sesuai dengan bunyi ayat tersebut.
Majelis Ulama Indonesia dalam fatwanya tanggal 25 Oktober 1997 menetapkan bahwa nikah mut’ah hukumnya haram, dan pelaku nikah mut’ah dihadapkan ke pengadilan sesuai dengan peraturan perundang-perundangan yang berlaku. Dasar pertimbangannnya adalah pertama bahwa nikah mut’ah mulai banyak dilakukan terutama dilakukan oleh kalangan pemuda dan mahasiswa. Kedua, praktek nikah mut’ah telah menimbulkan keprihatinan, kekhawatiran dan keresahan bagi para orang tua, ulama, pendidik, tokoh masyarakat dan ummat Islam, serta dipandang sebagai alat propaganda paham Syi’ah di Indonesia. Ketiga, bahwa mayoritas umat Islam Indonesia adalah penganut paham Sunni yang tidak mengakui dan menolak paham Syi’ah.
Kepala Madrasah Ushul Fiqh Progresif Wahid Institute Abdul Moqsith Ghazali mengatakan ”Nikah di bawah tangan itu dianggap ilegal oleh negara. Akibatnya, istri dan anak-anak tidak memiliki status hukum yang jelas,”.
Adapun dalil-dalil yang menjadi dasar keharaman nikah mut’ah adalah sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Mukminun ayat 5 dan 6 serta hadits Nabi s.a.w. yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim.
Pengharaman nikah mut’ah oleh Nabi s.a.w. disabdakan sebanyak 2 (dua) kali, yaitu tatkala terjadi perang Khaibar pada tahun 7 Hijrah dan kedua pada Fathu Makkah pada tahun 8 Hijrah. Dari Ali bin Abi Thalib r.a. ia berkata kepada Ibnu Abbas r.a. bahwa Nabi s.a.w. melarang nikah mut’ah dan memakan daging keledai jinak pada waktu perang Khaibar. Rasulullah saw pernah bersabda : “Wahai  sekalian  manusia,  aku  pernah  mengizinkan  kepada  kalian  untuk melakukan nikah mut’ah, maka sekarang yang memiliki isteri dengan cara nikah mut’ah haruslah ia menceraikannya dan segala sesuatu yang telah kalian berikan kepadanya janganlah kalian ambil lagi, karena Allah Azza wa Jalla telah mengharamkan nikah mut’ah sampai hari kiamat.
Hikmah dilarangnya nikah mut’ah, khususnya di kalangan kaum Sunni adalah untuk menjaga martabat wanita itu sendiri. Dengan melihat syarat dan rukun nikah mut’ah yang sangat ‘sederhana’, maka wanita tak ubahnya bagai barang mainan, yang pada akhirnya dapat menjerumuskan seorang wanita dalam lembah pelacuran terselubung. Karena wanita yang dinikahi dengan menggunakan cara nikah mut’ah pada hakikatnya hanya untuk pemuas nafsu belaka (bersenang- senang dalam waktu sesaat). Namun lain halnya dengan pemegang teguh paham syi’ah, mereka menganggap hal ini menjadi sebuah anjuran para imam pendahulu mereka dan wajib untuk ditaati. Karena di dalam agama Syi'ah nikah mut'ah mempunyai kedudukan yang sangat tinggi dan mulia. Ibadah yang paling afdhal dan seutama cara untuk mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah. Mut'ah adalah rukun iman.
Dalam hal ini jelas bahwa jenis perkawinan ini hanya semata-mata bertujuan untuk menghalalkan hubunganh seks dalam batas waktu tertentu. Alasan bagi pendapat yang membolehkan kawin kontrah secara mutlak ialah bahwa perkawinan itu ada yang mempunyai tujuan sementara yang disebut dengan “nikah shugra” (nikah kecil) yang hanya semata-mata untuk menikmati kesenangan seksual, dan ada nikah yang bersifat permanen yang disebut dengan “nikah kubra” (niukah besar) yaitu bertujuan pernikahan yang abadi untuk membentuk keluarga dan keturunan yang bahagia. Maka jumhur ulama memandang  nikah mut’ah itu diharamkan selama-lamanya, kebolehannya terbatas pada waktu perang fatuhu makkah, sesudah itu dilarang oleh nabi untuk selama-lamanya dan syari’atnya sudah mansukh.
Perkawinan islam adalah perkawinan yang dapat bertahan dan sanggup dilanjutkan kerena itu perkawinan islam bukan semata hubungan jasmani untuk memuaskan hawa nafsu dan bersifat sementara waktu diperlukan belaka tetapi melestarikan hidup duniawa dengan melahirkan keturunan yang menyusul untuk menjayakan bumi dengan keinginan Allah.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال