Sejarah Homeschooling di Indonesia

Sejarah homeschooling di Indonesia dapat dilacak dalam penyusunan UUD 1945. Negara menjamin adanya pendidikan di Indonesia, seperti yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 31, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dan Garis-Garis Besar Haluan Negara di sektor pendidikan. Pendidikan di sekolah merupakan salah satu sub sistem dari keseluruhan sistem pendidikan yang terdiri dari sentra keluarga, masyarakat, media, dan sekolah. Pemerintah Indonesia pada hakekatnya telah melakukan beberapa kebijakan pendidikan guna mengakomodasi dan melayani kebutuhan pendidikan bagi anak-anak di Indonesia, karena pendidikan merupakan usaha sadar untuk menumbuhkembangkan potensi sumber daya manusia (SDM) melalui kegiatan pengajaran. Kegiatan pengajaran tersebut diselenggarakan pada semua satuan dan jenjang pendidikan yang meliputi wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi (Depdiknas, 2001).
Namun, pada saat ini banyak fenomena yang mengarah pada bentuk ketidakpercayaan masyarakat terhadap signifikansi proses pendidikan dalam sistem sekolah formal untuk merubah kualitas hidup. Proses yang terjadi di sekolah dianggap sebagai ritual formalitas yang berkisar dari menjemukan sampai dengan menyiksa anak, namun perlu dilakukan agar mendapatkan pengakuan resmi dari pemerintah berupa ijazah untuk bisa memasuki jenjang selanjutnya. Sekolah hanya dianggap sebagai lembaga pemberi ijazah. Di tingkat perguruan tinggi, terungkapnya kasus pembelian gelar dan ijazah sebagai jalan pintas yang juga melibatkan beberapa pejabat dan anggota dewan merupakan pucuk gunung es dari ketidakpercayaan terhadap proses pembelajaran dalam sistem formal.
Sejalan dengan hal tersebut muncul sekolah-sekolah alternatif yang diprakarsai oleh lembaga-lembaga swadaya masyarakat. Ketika masyarakat tergerak untuk mengambil alih kembali pendidikan, muncul pendidikan alternatif yang diprakarsai sejumlah lembaga swadaya masyarakat. Terdapat sanggar anak, sekolah anak rakyat, komunitas pinggir kali, dan sebagainya. Dan akhir-akhir ini yang lebih menggembirakan lagi, muncul sebuah gerakan sekolah rumah  (homeschooling) sebagai bentuk ketidakpercayaan kepada sekolah formal. Walaupun masih belum cukup banyak dibanding kompleksitas berbagai permasalahan dalam masyarakat, upaya-upaya alternatif ini merupakan bagian dari dinamika proses negosiasi dimensi formal dan non-formal dari pendidikan.
Prasetyawati (2006) mengatakan bahwa kegiatan belajar yang dialihkan dari sekolah ke rumah (homeschooling) disebabkan oleh ketidakpuasan orang tua terhadap sistem pendidikan, ketidaksesuaian anak terhadap mata pelajaran sehingga tidak bisa mengembangkan potensi anak, pergaulan di sekolah yang memberi dampak buruk, misalnya: penyalahgunaan obat terlarang yang sudah menyusup di kalangan pelajar, serta adanya fleksibilitas dalam memberikan pelajaran oleh orang tua. 
Ibuka (dalam Sukadji, 2000) menyatakan tulisannya mengenai pendidikan anak, bahwa anak hendaknya mulai dididik sejak lahir oleh orang tuanya sendiri. Pendidikan anak pada hakikatnya berasal dari rumah dan yang menjadi guru pertama kali dalam hidup anak adalah orang tua, yang mana pendidikan dalam rumah dapat membuat anak sehat jasmaninya, lebih bermental fleksibel, lebih cerdas, dan lebih sopan. Yulfiansyah (2006) mengatakan bahwa pada homeschooling yang menjadi guru untuk mendidik dan mengajarkan anak adalah orang tua.  Selanjutnya orang tua dapat pula mengundang siapa saja untuk memberikan transfer keahlian pada anak-anaknya, bisa seorang mahasiswa untuk bidang yang dikuasainya, seorang suster untuk masalah kesehatan, seorang satpam untuk belajar bela diri, seorang cleaning service untuk kegigihan dan kesungguhan dalam bekerja, seorang buruh pabrik, dan lain sebagainya. Pada dasarnya dengan pengalaman yang mereka miliki, wawasan anak didik menjadi lebih berkembang oleh karena ilmu yang sejati bisa datang dan dibawa oleh siapa saja.
Suyanto (2006) mengatakan bahwa orang tua yang ragu-ragu terhadap kualitas pendidikan formal yang ada, sah-sah saja jika ingin mendidik sendiri anaknya di rumah. Namun, tentu materinya harus sesuai dengan standard yang berlaku. Untuk itulah anak-anak yang mengikuti homeschooling harus menempuh ujian kesetaraan, yang dapat diikuti melalui lembaga yang dikelola oleh pemerintah, seperti di Sanggar Kegiatan Belajar-Unit Pelaksaanaan Teknis Daerah (SKB-UPTD) yang sudah menyebar di seluruh kabupaten di Indonesia, dan di Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) yang penyebarannya mencapai tingkat kelurahan. Dengan demikian anak yang homeschooling dapat memperoleh ijazah sama seperti anak yang sekolah di sekolah formal, dan dapat melanjutkan pendidikannya di sekolah yang lebih tinggi pula.  

1 Komentar

  1. hanya sayangnya biaya yang dikeluarkan terhitung cukup mahal ya untuk homeschooling yang memang berkualitas...

    BalasHapus
Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال