Teori Pengambilan Keputusan

Terdapat beberapa teori pengambilan keputusan. Keputusan-keputusan yang diambil oleh individu dapat dipahami melalui dua pendekatan pokok, yaitu pendekatan normatif dan pendekatan deskriptif (Suharnan, 2005). Pendekatan normatif menitikberatkan pada apa yang seharusnya dilakukan oleh pembuat keputusan sehingga diperoleh suatu keputusan yang rasional. Pendekatan deskriptif menekankan pada apa saja yang telah dilakukan orang yang membuat keputusan tanpa melihat apakah keputusan yang dihasilkan itu rasional atau tidak rasional (Suharnan, 2005).
Dengan demikian, pendekatan normatif akan mengacu pada prinsip-prinsip keputusan yang seharusnya dibuat menurut pikiran logis (ideal). Sementara itu, pendekatan deskriptif akan mengacu pada kenyataan-kenyataan keputusan yang telah dibuat oleh kebanyakan orang (realitas-empiris).
Menurut Hastjarjo (Suharnan, 2005) pengambilan keputusan juga dapat dipelajari dari sudut tingkat resiko yang menyertainya. Sebagian keputusan yang dibuat seseorang dalam keadaan yang sedikit atau tanpa resiko (riskless choice). Sementara itu sebagian keputusan yang lain harus dibuat dalam suasana yang mengandung resiko (risky choice).
Berikut ini akan dijelaskan beberapa pendekatan dalam pengambilan keputusan:
Pendekatan normatif
Jika digunakan pendekatan normatif dalam pengambilan keputusan, maka seseorang akan menempuh cara-cara yang rasional berdasarkan perhitungan matematis atau statistik. Suatu keputusan yang rasional harus memperhatikan prinsip-prinsip berikut: memperbandingkan di antara pilihan, transitisitas, mengabaikan faktor umum, dominan, kontinuitas, dan invarian (Plous, 1993; Suharnan, 2005).
  1. Memperbandingkan pilihan. Prinsip pertama adalah seseorang pembuat keputusan yang rasional harus membandingkan di antara dua pilihan atau lebih. Biasanya dilakukan dengan membuat daftar urut pilihan, termasuk sifat-sifat penting yang dimiliki oleh masing-masing. Setelah itu, seseorang akan menentukan satu pilihan yang terbaik, atau mungkin semua pilihan tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan sehingga ia boleh memilih alternatif yang mana yang dikehendaki. 
  2. Transitisitas. Prinsip ini mengatakan bahwa jika ada tiga pilihan misalnya A, B, dan C; A lebih disukai daripada B, dan B lebih disukai daripada C, maka A adalah paling disukai diantara kedua pilihan tersebut. Pilihan seseorang seharusnya jatuh pada A, dan bukan B atau C. 
  3. Mengabaikan faktor umum. Jika dua alternatif mengandung resiko yang keduanya memiliki peluang sama di dalam menghasilkan konsekuensi-konsekuensi tertentu, maka faktor-faktor yang sama ini seharusnya diabaikan ketika menentukan salah satu pilihan. Dengan kata lain, menentukan satu pilihan diantara dua alternatif seharusnya hanya tergantung pada konsekuensi hasil yang berbeda, bukan pada konsekuensi hasil yang sama-sama dimiliki oleh keduanya. Konsekuensi-konsekuensi hasil yang sama di antara dua pilihan ini disebut faktor-faktor umum (common factors), dan seharusnya dikeluarkan dari pertimbangan. 
  4. Dominan. Jika ada dua objek pilihan atau lebih yang semuanya memiliki sifat-sifat sama, namun paling sedikit ada satu sifat menarik dan menonjol yang dimiliki oleh salah satu dari dua objek tersebut, maka seharusnya orang memilih objek yang memililki sifat menonjol daripada objek yang lain. 
  5. Kontinuitas. Untuk serangkaian hasil, pembuat keputusan harus selalu lebih berspekulasi antara hasil terbaik dan terburuk menjadi hasil yang pertengahan jika untuk mendapatkan hasil terbaik terdapat rintangan yang cukup besar. 
  6. Invarian. Prinsip ini mengatakan bahwa cara penyajian seharusnya tidak menentukan suatu pilihan. Misalnya, orang membeli sepeda motor merek A atau B, seharusnya tidak ditentukan oleh cara penyampaian pesan poromosi apakah melalui media pandang-dengar atau media cetak.
Teori prospek
Teori ini adalah salah satu pendekatan deskriptif. Teori ini dikembangkan oleh Danniel Kahneman dan Amos Tversky di sekitar tahun 80-an. Namun, di kalangan ahli psikologi Indonesia teori prospek baru dikenal pada tahun 90-an (Suharnan, 1999). Prinsip-prinsip yang diajukan oleh teori prospek meliputi: prinsip fungsi nilai (value function), bingkai keputusan (decision frame), perhitungan mental-psikologis (psychological accounting), probabilitas (probability), dan efek kepastian (certainty effects).
  1. Fungsi nilai. Teori prospek mendefinisikan nilai di dalam kerangka kerja bipolar di antara perolehan (gains) dan kehilangan (losses). Keduanya bergerak dari titik tengah yang merupakan referensi netral. Fungsi nilai bagi suatu perolehan (mendapatkan sesuatu) akan berbeda dengan kehilangan sesuatu itu. Nilai bagi suatu kehilangan dibobot lebih tinggi. Sementara itu, nilai bagi suatu perolehan dibobot lebih rendah. 
  2. Pembingkaian. Teori prospek memprediksi bahwa preferensi (kecenderungan memilih) akan tergantung pada bagaimana suatu persoalan dibingkai atau diformulasikan. Jika titik referensi diformulasikan sedemikian rupa sehingga hasil keputusan dianggap atau dipersepsi sebagai suatu perolehan, maka orang yang mengambil keputusan akan cenderung menghindari resiko (risk averse). Sebaliknya, jika titik referensi diformulasikan ke arah keputusan yang menghasilkan kerugian atau kehilangan, maka orang akan cenderung mengambil resiko (risk seeking). 
  3. Perhitungan psikologis. Orang yang membuat keputusan tidak hanya membingkai pilihan-pilihan yang ditawarkan, tetapi juga membingkai hasil serta akibat dari pilihan-pilihan itu. Hal ini disebut perhitungan mental atau psikologis. Perhitungan psikologis dibedakan menjadi dua macam, yaitu minimal accounting dan inclusive accounting (Kahneman dan Tversky dalam Suharnan, 2005). Suatu perhitungan disebut sebagai minimal accounting apabila hasil-hasil dari pilihan yang akan ditetapkan dibingkai menurut konsekuensi yang langsung menyertainya. Suatu perhitungan disebut inclusive accounting apabila hasil-hasil keputusan dibingkai dengan memperhitungkan kejadian sebelumnya. 
  4. Probabilitas. Teori prospek berpandangan bahwa kecenderungan orang dalam membuat keputusan merupakan fungsi dari bobot keputusan (decision weight). Bobot keputusan ini tidak selalu berhubungan dengan besar-kecilnya peluang atau frekuensi kejadian. Kejadian-kejadian yang memiliki peluang rendah cenderung diberi bobot nilai yang tinggi (overweight). Sementara itu, kejadian-kejadian yang berpeluang sedang atau tinggi justru cenderung diberi bobot nilai yang rendah (underweight). 
  5. Efek kepastian. Teori prospek memprediksi bahwa pilihan yang dipastikan tanpa resiko sama sekali akan lebih disukai daripada pilihan yang masih mengandung resiko meski kemungkinannya sangat kecil. Hal ini disebabkan karena orang-orang cenderung menghilangkan sama sekali adanya resiko (eliminate) daripada hanya menguranginya (reduce) atau memperkecil resiko.
Pendekatan heuristik
Heuristik adalah cara menentukan sesuatu melalui hukum kedekatan, kemiripan, kecenderungan, atau keadaan yang diperkirakan paling mendekati kenyataan. Heuristik merupakan suatu strategi yang cenderung menghasilkan keputusan yang tepat, tetapi tidak menjamin ketepatan secara mutlak. Sebagai konsekuensinya, seseorang memliiki kemungkinan untuk membuat keputusan yang salah atau perkiraan yang melencengakibat kelemahan dari pemakaian strategi heuristik.
Beberapa strategi penting dari heuristik yang sering digunakan orang di dalam proses pengambilan keputusan, yaitu: keterwakilan, ketersediaan informasi, pembuatan patokan, perangkap keputusan, kepercayaan yang berlebihan, dan pembingkaian.
  1. Keterwakilan (representativeness). Menurut Nisbett (Matlin,1994) keterwakilan merupakan pendekatan heuristik yang paling penting dalam proses pengambilan keputusan. Suatu sampel tampak mewakili apabila terdapat kesamaan karakteristik utama dengan yang dimiliki oleh populasinya. Lebih khusus, keterwakilan sangat tergantung pada bagaimana sampel dipilih dari populasi yang menjadi asalnya. Keterwakilan pada umumnya merupakan strategi yang sangat berguna, karena dapat mengarahkan seseorang kepada pengambilan keputusan yang benar. Meskipun begitu, apabila seseorang menggunakan strategi tersebut secara berlebihan, maka ia dapat mengambil keputusan-keputusan yang salah. 
  2. Ketersediaan informasi (availability). Tversky & Kahneman (Matlin, 1994) mengatakan bahwa seseorang akan menggunakan strategi ini ketika ia sedang membuat estimasi atau taksiran terhadap frekuensi peristiwa atau kemungkinan pemunculan kejadian berdasarkan tingkat kemudahan contoh-contoh yang dapat diperoleh. Dengan kata lain, orang mempertimbangkan frekuensi kejadian dengan cara menetapkan apakah contoh-contoh informasi yang relevan dapat ditemukan dengan mudah di dalam ingatan ataukah memerlukan usaha yang keras. Faktor-faktor yang mempengaruhi ketersediaan informasi atau ingatan seseorang antara lain (Matlin, 1994; Suharnan, 2005) adalah (a) kekinian informasi (recency). Ingatan mengenai informasi pada umumnya makin menurun bersamaan dengan semakin berlalunya waktu. Semakin baru suatu informasi diterima atau peristiwa dialami seseorang, maka semakin baik hal itu diingat kembali.; (b) keakraban (familiarity). Keakraban dengan contoh-contoh juga mempengaruhi kesalahan perkiraan seseorang mengenai suatu peristiwa.; dan (c) kejelasan (vividness). Informasi yang dapat dibayangkan dan diingat kembali dengan jelas oleh seseorang juga merupakan faktor yang dapat mempengaruhi taksiran terhadap frekuensi suatu peristiwa. Jika orang dapat membayangkan kembali dengan jelas di dalam ingatannya mengenai beberapa peristiwa yang relevan dengan peristiwa yang akan ditaksir, seolah-olah peristiwa itu sedang terjadi sekarang, maka ia akan menggunakan informasi itu sebagai acuan. 
  3. Patokan dan penyesuaian (ancor and adjusment). Seseorang sering menggunakan strategi memasang jangkar atau menetapkan patokan awal lalu melakukan penyesuaian pada saat akan membuat estimasi-estimasi. Strategi ini dimulai dengan menebak suatu keadaan awal yang paling mendekati, dan ini dijadikan patokan, kemudian dibuat penyesuaian-penyesuaian secara bertahap sesuai dengan informasi tambahan yang diterima. 
  4. Perangkap (entrapment). Perangkap atau jebakan ialah suatu proses pengambilan keputusan yang berarti menambah atau memperkuat komitmen terhadap pilihan-pilihan yang telah dibuat sebelumnya. Seseorang atau kelompok dikatakan terperangkap apabila orang atau kelompok itu berusaha mempertahankan keputusan yang pernah dibuat. Faktor yang mempengaruhi orang terperangkap, yaitu pertama, orang lebih melihat imbalan (reward) yang akan diperoleh apabila tujuan yang diinginkan tercapai daripada melihat kerugian yang akan diderita apabila ia mengalami kegagalan dalam mencapai tujuan tersebut. Kedua, orang mempersepsi bahwa tujuan yang diinginkan sudah tampak di depan mata dan hampir dipastikan akan dapat dicapai dalam waktu singkat, sehingga hal ini lebih mendorong orang itu untuk meneruskan perjalanan daripada mundur atau menyerah. Ketiga, orang sudah terlanjur menanamkan sejumlah besar investasi atau mengorbankan banyak uang, tenaga, pikiran, dan waktu. Keempat, kecenderungan orang dalam situasi kompetitif untuk tetap mempertahankan keunggulan, sehingga keinginan untuk mematikan lawan menjadi sangat besar. Kelima, muncul perasaan malu pada diri seseorang, karena apabila ia menyerah maka berarti harga dirinya menjadi rendah di mata orang lain. Keenam, adanya rasa tanggung jawab yang terlalu besar (berlebihan) terhadap kegagalan tugas atau keberhasilan tugas yang menjadi tanggung jawab seseorang. 
  5. Kepercayaan yang berlebihan (overconfidence). Terdapat banyak keputusan yang salah atau melenceng disebabkan antara lain oleh kepercayaan yang berlebihan dari pembuat keputusan. Orang tidak jarang membuat perkiraan kedepan yang ternyata tidak terbukti kebenarannya. Orang juga sering melakukan penaksiran yang tidak realistis terhadap kemungkinan apakah suatu peristiwa sering terjadi atau jarang terjadi, karena hanya didasarkan pada perhitungan statistic yang dianggap sudah tepat. 
  6. Bingkai keputusan (decision frame). Bingkai keputusan adalah cara-cara yang digunakan di dalam mengajukan pertanyaan dan konteks pilihan atau permasalahan agar dihasilkan keputusan tertentu (Matlin, 1994; Suharnan, 2005). Cara-cara ini dapat mempengaruhi persepsi seseorang terhadap pilihan atau permasalahan yang hendak diputuskan. Suatu cara penyajian atau konteks yang berbeda akan menghasilkan keputusan yang berbeda pula, meski persoalan yang diangkat sebenarnya sama.
Keputusan yang kompleks
Menurut Anderson (Suharhan, 2005) ada tiga kemungkinan pendekatan berdasarkan nilai yang diharapkan dalam situasi yang kompleks, yaitu memaksimalkan nilai minimum, memaksimalkan nilai maksimum, dan memaksimalkan nilai yang diharapkan (unbiased). Selain itu, ketika menghadapi masalah yang sangat kompleks atau sulit, orang dapat mempertimbangkan penggunaan proses berpikir sadar (conscious thinking) atau berpikir tidak sadar (unconscious thinking).
  1. Memaksimalkan nilai minimum. Pendekatan ini cenderung mengarah pada keputusan yang pesimis. Individu cenderung mempertimbangkan situasi atau resiko yang paling buruk yang akan terjadi jika ia memilih suatu alternatif, atau alternatif yang lain. Jadi, keputusan dibuat sepenuhnya menurut pertimbangan kemungkinan paling buruk yang akan terjadi nanti. 
  2. Memaksimalkan nilai maksimum. Pendekatan ini memiliki pandangan yang optimis. Individu cenderung mempertimbangkan hal-hal yang baik dan mungkin dapat terjadi jika ia memilih suatu alternatif, atau memilih alternatif yang lain. Ia lalu memilih alternatif yang dirasakan paling memuaskan. Keputusan yang dibuat sepenuhnya menurut perspektif kemungkinan didepan yang paling baik, dan mengabaikan kemungkinan lain yang jelek akan terjadi. 
  3. Memaksimalkan nilai harapan. Pendekatan ini pada umumnya dianggap lebih rasional karena individu memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan yang baik dan buruk akan terjadi terhadap alternatif-alternatif pilihan yang dibuatnya. Pendekatan ini dapat diterapkan pada pengambilan keputusan didalam situasi yang pasti atau tidak pasti. 
  4. Penggunaaan berpikir sadar atau tidak sadar. Ketika menghadapi masalah-masalah atau keputusan-keputusan yang kompleks didalam kehidupan sehari-hari, individu perlu mempertimbangkan mana yang lebih baik atau berguna antara penerapan proses berpikir sadar atau tidak sadar. Pikiran sadar memiliki kapasitas memproses informasi yang sangat terbatas, sedangkan pikiran tidak sadar memiliki kapasitas yang jauh lebih besar di dalam memproses informasi. Pengambilan keputusan untuk masalah-masalah yang mudah, maka penerapan berpikir sadar dianggap lebih efektif. Sebaliknya, bagi masalah-masalah yang kompleks, maka penerapan proses berpikir tidak sadar akan jauh lebih efektif atau berguna, sehingga menghasilkan kepuitusan yang berkualitas baik. Hal ini disebabkan karena masalah-masalah yang kompleks sulit ditentukan secara pasti apa saja komponen-komponen atau atribut-atribut yang dimiliki. Selain tidak jelas, juga mungkin saja berjumlah banyak dan saling terkait antara komponen satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu, seseorang cukup memahami kesan-kesan keseluruhan (global impression) mengenai suatu masalah dan tidak perlu menganalisis komponen demi komponen masalah secara rinci dan kuantitatif.

1 Komentar

Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال