Pengolahan Emosi pada Amygdala

Emosi manusia di olah pada amygdale. Amygdala dikatakan sebagai bagian otak yang bertanggung jawab atas keadaan tergugah yang dialami individu, karena disitu tersimpan pengalaman emosi individu. Menurut LeDeux (dalam Goleman, 1995), kehidupan awal individu begitu penting untuk kehidupan emosionalnya di masa dewasa, sebab saat itu akan terbentuk cetak biru kehidupan emosional individu yang bersangkutan. Pengalaman yang terutama diperoleh bayi melalui interaksinya dengan pengasuh pada tahun-tahun awal kehidupan, akan tersimpan dalam amygdala dalam bentuknya yang kasar tanpa kata-kata, karena bayi belum mengenal bahasa. Amygdala yang kurang mengalami perangsangan dibandingkan dengan bagian otak lainnya, akan menghasilkan individu yang kurang mampu memberi makna emosional dari kejadian yang dialaminya. Kondisi ini disebut “affective blindness”.
Pada kehidupan selanjutnya, perangsangan yang diterima individu melalui indera akan terkirim pada amygdala di otak melalui 2 cara. Pada cara pertama rangsang yang terkirim ke thalamus, akan melewati neocortex untuk selanjutnya diteruskan ke amygdala jika dianggap perlu. Pada cara ke dua, rangsang yang sampai pada thalamus akan langsung menuju amygdala melalui satu sinaps. Rangsang yang sampai pada amygdala ini akan memicu aktifasi dari pusat emosional, seperti sekresi hormon tubuh, memobilisasi pusat gerakan, aktifasi sistem kardiovaskuler , dan otot-otot. Demikan rangkaian timbulnya reaksi yang dimunculkan individu, ketika menerima rangsang dari luar. Sementara amygdala memebri bobot emosional, neocortex memberikan bobot pemikiran rasional pada perangsangan yang diterima individu. Dapat dikatakan bahwa pengolahan rangsang, dalam hal ini pemberian makna dan penentuan reaksi individu, terjadi pada kedua struktur otak tersebut.
Dalam perkembangannya, diharapkan individu belajar untuk senantiasa mengikuti jalur yang melewati neocortex, pada pengolahan rangsang yang diterima. Diharapkan dengan demikian, penilaian berikut reaksi yang diberikan individu terhadap rangsang tersebut, memuat alasan yang proporsional antara yang bersifat rasional dan yang bersifat emosional. Alasan dikatakan bersifat rasional jika memuat adanya perencanaan dan organisasi yang mempertimbangkan budaya dan keadaan sosial di tempat individu tinggal. Fungsi faktor kognisi seperti yang dikemukakan Schachter (1959, dalam Hilgard et al., 1975), dengan demikian berlangsung pada neocortex ini. Alasan dikatakan bersifat emosional jika semata-mata didasarkan atas pengalaman emosional yang tersimpan pada amygdala.
Apabila jalur yang terlalui rangsang tidak singgah di neocortex, maka bisa dibayangkan bahwa penilaian berikut reaksi individu terhadap rangsang lebih banyak diwarnai oleh alasan emosional yang tersimpan di amygdala. Apabila keadaan yang dikenal dengan kejadian pembajakan atau hijacking ini terjadi, maka reaksi yang dimunculkan individu menjadi tak terkendali dan tampil dalam bentuknya yang kasar, murni, dan tidak terkemas, seperti yang tersimpan dalam amygdala (lihat Goleman, 1995; Atkinson et al., 1996). Dalam kaitannya dengan pekerjaan, keadaan ini cenderung bersifat destruktif karena akan menyebabkan tugas yang dilakukan menjadi kurang terorganisasi dan kurang bertujuan. Hal ini dikenal dengan sebutan emosi yang disorganisasi (Schönpflug/ Schönpflug, 1983).
Reaksi Emosi
Sifatnya yang konstruk hipotetis, menyebabkan emosi hanya bisa disimpulkan dalam keadaan sehari-hari melalui perilaku yang tampak. Dengan demikian, emosi bisa dijelaskan secara beragam sesuai dengan perilaku yang dilihat, yang merupakan reaksi individu dalam keadaan emosional tergugah tersebut , yaitu: yang sifatnya biologis-fisiologis, verbal-kognitif, motorik dan bentuk-bentuk ekspresi tubuh. Reaksi emosi tersebut sesungguhnya dimaksudkan untuk mengembalikan individu pada keadaan semula, tidak tergugah, demi terciptanya keseimbangan (homeostasis) baik secara biologis maupun psikologis (Debus, 1977).

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال