Penanganan Anak Autisme

Penanganan anak autisme yang tepat adalah harus disesuakan dengan gejela-gejela autisme yang ditunjukkan oleh anak. Banyak metode penanganan anak autisme yang sudah dikembangkan oleh para ahli saat ini.
Menurut Danuatmaja (2003), gangguan otak pada anak autis umumnya tidak dapat disembuhkan (not curable), tetapi dapat ditanggulangi (treatable) melalui terapi dini, terpadu, dan intensif. Gejala autisme dapat dikurangi, bahkan dihilangkan sehingga anak bisa bergaul secara normal. Jika anak autis terlambat atau bahkan tidak dilakukan intervensi dengan segera, maka gejala autis bisa menjadi semakin parah, bahkan tidak tertanggulangi. Namun, anak autis akan mengalami kemajuan seperti anak normal yang lain bila dilakukan penanganan anak autisme yang tepat.
Keberhasilan terapi tergantung beberapa faktor berikut ini:
  1. Berat atau ringannya gejala, tergantung pada berat – ringannya gangguan di dalam sel otak.
  2. Makin muda umur anak pada saat terapi dimulai, tingkat keberhasilannya akan semakin besar. Umur ideal untuk dilakukan terapi atau intervensi adalah 2 – 5 tahun, pada saat sel otak mampu dirangsang untuk membentuk cabang – cabang neuron baru.
  3. Kemampuan bicara dan berbahasa; 20 % penyandang autisme tidak mampu bicara seumur hidup, sedangkan sisanya ada yang mampu bicara tetapi sulit dan kaku. Namun, ada pula yang mampu bicara dengan lancar. Anak autis yang tidak mampu bicara (non verbal) bisa diajarkan keterampilan komunikasi dengan cara lain, misalnya dengan bahasa isyarat atau melalui gambar – gambar.
  4. Terapi harus dilakukan dengan sangat intensif, yaitu antara 4 – 8 jam sehari. Disamping itu, seluruh keluarga harus ikut terlibat dalam melakukan komunikasi dengan anak.
Berbagai jenis penanganan anak autisme (terapi autis), antara lain:
Terapi obat (medikamentosa)
Terapi ini dilakukan dengan obat – obatan yang bertujuan untuk memperbaiki komunikasi, memperbaiki respon terhadap lingkungan, dan menghilangkan perilaku – perilaku aneh yang dilakukan secara berulang – ulang. Pemberian obat pada anak autis harus didasarkan pada diagnosis yang tepat, pemakaian obat yang tepat, pemantauan ketat terhadap efek samping dan mengenali cara kerja obat. Perlu diingat bahwa setiap anak memiliki ketahanan yang berbeda-beda terhadap efek obat, dosis obat dan efek samping. Oleh karena itu perlu ada kehati-hatian dari orang tua dalam pemberian obat yang umumnya berlangsung jangka panjang. Saat ini pemakaian obat diarahkan untuk memperbaiki respon anak sehingga diberikan obat-obat psikotropika jenis baru seperti obat-obat anti depressan SSRI (Selective Serotonin Reuptake Inhibitor) yang bisa memberikan keseimbangan antara neurotransmitter serotonin dan dopamine. Yang diinginkan dalam pemberian obat ini adalah dosis yang paling minimal namun paling efektif dan tanpa efek samping. Pemakaian obat akan sangat membantu untuk memperbaiki respon anak terhadap lingkungan sehingga ia lebih mudah menerima tata laksana terapi lainnya. Bila kemajuan yang dicapai cukup baik, maka pemberian obat dapat dikurangi, bahkan dihentikan (Danuatmaja, 2003).
Terapi biomedis
Terapi melalui makanan (diet therapy) diberikan untuk anak – anak dengan masalah alergi makanan tertentu. Terapi ini bertujuan untuk memperbaiki metabolisme tubuh melalui diet dan pemberian suplemen. Terapi ini dilakukan mengingat banyaknya gangguan pada fungsi tubuh yang sering terjadi anak autis, seperti gangguan pencernaan, alergi, daya tahan tubuh yang rentan, dan keracunan logam berat. Gangguan – gangguan pada fungsi tubuh ini yang kemudian akan mempengaruhi fungsi otak.
Aspek pengaturan pola makan sedemikian penting bagi anak autisma karena suplay makanan merupakan bahan dasar pembentuk neurotransmitter. Sebagian besar anak autisma akan mengalami reaksi alergi dan intoleransi terhadap makanan dengan kadar gizi tinggi. Efeknya, zat – zat yang membentuk neurotransmitter untuk menunjang kesinambungan kerja sistem saraf, justru dalam tubuh anak autisma diubah menjadi zat lain yang bersifat meracuni saraf atau neurotoksin.
Diet yang sering dilakukan pada anak autis adalah GFCF (Glutein Free Casein Free). Pada anak autis disarankan untuk tidak mengkonsumsi produk makanan yang berbahan dasar gluten dan kasein (gluten adalah campuran protein yang terkandung pada gandum, sedangkan kasein adalah protein susu). Jenis bahan tersebut mengandung protein tinggi dan tidak dapat dicerna oleh usus menjadi asam amino tunggal sehingga pemecahan protein menjadi tidak sempurna dan berakibat menjadi neurotoksin (racun bagi otak). Hal seperti ini menyebabkan terjadinya penurunan sejumlah fungsi otak yang akan berdampak pada menurunnya tingkat kecerdasan anak (Danuatmaja, 2004).
Menurut Veskarisyanti (2008), anak dengan autisme memang tidak disarankan untuk mengasup makanan dengan kadar gula tinggi. Hal ini berpengaruh pada sifat hiperaktif sebagian besar dari mereka.
Terapi Wicara
Menurut Veskarisyanti (2008), umumnya hampir semua penyandang autisme. mengalami keterlambatan bicara dan kesulitan berbahasa. Kadang – kadang bicaranya cukup berkembang, namun mereka tidak mampu untuk memakai kemampuan biacaranya untuk berkomunikasi / berinteraksi dengan orang lain. Oleh karena itu, terapi wicara (speech therapy) pada penyandang autisme merupakan suatu keharusan, tetapi pelaksanaannya harus sesuai dengan metode ABA (Applied Behavior Analysis).
Terapi Perilaku
Terapi ini bertujuan agar anak autis dapat mengurangi perilaku yang bersifat self – maladaption (tantrum atau melukai diri sendiri) dan menggantinya dengan perilaku yang dapat diterima oleh masyarakat. Terapi perilaku ini sangat penting untuk membantu anak ini agar le- bih bisa menyesuaikan diri di dalam masyarakat (Danuatmaja, 2003).
Terapi Okupasi
Terapi ini bertujuan untuk membantu anak autis yang mempunyai perkembangan motorik kurang baik yang dilakukan melalui gerakan – gerakan. Terapi okupasi ini dapat membantu menguatkan, memperbaiki koordinasi dan ketrampilan ototnya. Otot jari tangan misalnya sangat penting dikuatkan dan dilatih supaya anak bisa menulis dan me-
lakukan semua hal yang membutuhkan keterampilan otot jari tanganya seperti menunjuk, bersalaman, memegang raket, memetik gitar, main piano, dan sebagainya (Danuatmaja, 2003).
Terapi Sensori Integrasi
Integrasi sensoris berarti kemampuan untuk mengolah dan mengartikan seluruh rangsang sensoris yang diterima dari tubuh maupun lingkungan, dan kemudian menghasilkan respon yang terarah. Terapi ini berguna untuk meningkatkan kematangan susunan saraf pusat, sehingga lebih mampu untuk memperbaiki struktur dan fungsinya. Aktivitas ini merangsang koneksi sinaptik yang lebih kompleks, dengan demikian dapat bisa meningkatkan kapasitas untuk belajar (Veskarisyanti, 2008).

1 Komentar

  1. Pusat Terapi & Tumbuh Kembang Anak Rumah Sahabat Yogyakarta melayani terapi terpadu bagi anak berkebutuhan khusus meliputi terapi komunikasi, fisioterapi, sensori integrasi, okupasi terapi, terapi perilaku, pendampingan ke sekolah umum & home visit prgram. informasi lebih lanjut hubungi 0274 8267882

    BalasHapus
Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال