Pandangan Jiwa dari berbagai Perspektif (Al-Qur'an, Filsafat Yunani/Barat, Filsafat Islam, dan Ahli Tasawwuf)

Berbicara mengenai jiwa, akan kita temukan berbagai macam pembahasan yang memperkaya pengetahuan kita. Jiwa sudah dibahas sejak masa Yunani Kuno yaitu masa Filsuf-Filsuf Yunani, Masa Kejayaan Islam yang mengsinkronisasikan antara Islam dan filsafat Yunani, sehingga lahir filsuf-filsuf Muslim. Didalam Islam, jiwa tidak hanya dibahas oleh Filsuf tetapi juga oleh ahli tasawwuf (sufi) yang banyak pengaruhnya terhadap metode penyembuhan penyakit mental. Tapi metode ini belum berkembang seperti yang diharapkan. 

Lain halnya dengan pembahasan jiwa di Barat yang diperkaya oleh Filosof-filosof beraliran Yunani yang begitu pesat, sehingga pada akhir abad ke-19 melahirkan suatu disiplin ilmu yaitu Psikologi. Jika dibandingkan dengan pembahasan jiwa di Timur (dunia Islam), terkesan ketinggalan. Tapi metode dalam penanganan penyakit mental yang makin berkembang dirasakan bahwa, psikologi Barat seakan hampa, tidak dapat memberikan penanganan yang global, karena tidak melihat manusia sebagai individu yang utuh, yang membutuhkan nilai-nilai yang tidak terlihat (Nilai ke Tuhanan), yang merupakan nilai akhir dari kepasrahan individu dalam menghadapi kehidupan sehari-hari.

Mungkin hal inilah yang mendasari kegairahan untuk membahas fenomena jiwa dalam Islam yang dianggap sebagai alternative akhir dalam penanganan kelainan jiwa. Jiwa dalam psikologi Barat hanya melihat pada fenomena-fenomna tingkah laku, sedangkan pembahasan dalam Islam lebih beragam. Ini memberikan suatu kekayaan hasanah pembahasan sekaligus kerumitan yang akan dihadapi.

 JIWA DALAM PADANGAN ISLAM

Dilihat dari sifatnya[1], jiwa dapat dibedakan menjadi tiga bagian, yaitu: nafs muthma’innah (jiwa tenang), nafs lawwamah (jiwa yang menyesali diri sendiri), nafs ammarah (jiwa yang selalu menyuruh kepada kejahatan). Pembagian ini berdasarkan dalil dalam al-Qur’an.
$pkçJ­ƒr'¯»tƒ ߧøÿ¨Z9$# èp¨ZÍ´yJôÜßJø9$# ÇËÐÈ
Artinya: “Wahai jiwa-jiwa yang tenang (Al-Fajr: 27)
Iw ãNÅ¡ø%é& ÏQöquÎ/ ÏpyJ»uŠÉ)ø9$# ÇÊÈ Iwur ãNÅ¡ø%é& ħøÿ¨Z9$$Î/ ÏptB#§q¯=9$# ÇËÈ
Artinya: Aku bersumpah demi hari kiamat. Dan Aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri) (Al-Qiyamah 1-2)
* !$tBur äÌht/é& ûÓŤøÿtR 4 ¨bÎ) }§øÿ¨Z9$# 8ou$¨BV{ Ïäþq¡9$$Î/ žwÎ) $tB zOÏmu þÎn1u 4 ¨bÎ) În1u Öqàÿxî ×LìÏm§ ÇÎÌÈ

Artinya: Dan Aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), Karena Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha penyanyang (Yusuf:53)

Menurut Ibnu Qoyyim yang mendasarkan pendapatnya kepada Al-Qur’an, sunnah, ijma sahabat, argumentasi akal dan fitrah. Dia menyebutkan banyak ayat Al-Qur’an dan hadis yang menyebutkan kebenaran pendapat tentang jiwa ini. Dia menjelaskan bahwa jiwa manusia itu satu, tetapi memiliki tiga sifat dan dinamakan sifat yang mendominasinya. Ada jiwa yang disebut muthma’innah (jiwa yang tenang) karena ketenangannya dalam beribadah, bermahabbah, berinabah, bertawakkal, serta keridhaannya dan kedamainnya kepada Allah SWT. Ada jiwa yang bernama nafsu lawwamah karena tidak selalu berada pada satu keadaan dan ia selalu mencela; atau dengan kata lain, selalu ragu-ragu, menerima dan mencela secara bergantian. Ada juga pendapat yang mengatakan bahwa nafsu lawwamah dinamakan demikian karena orangnya sering mencela. Sedang nafsu ammarah adalah nafsu yang menyuruh kepada keburukan.

Jadi, jiwa manusia merupakan satu jiwa yang terdiri dari ammarah, lawwamah, dan muthma’innah yang menjadi tujuan kesempurnaan dan kebaikan manusia. Ada kemiripan antara pendapat Ibnu Qoyyim dan pendapat Ibnu Taimiyah sebelumnya tentang tiga sifat jiwa ini (Utsman Najati: 2002).

Disela-sela pembicaraan tentang cinta dalam buku Raudhat al-Muhibbin wa Nuzhat al-Musytakin, Ibnu Qoyyim menyebutkan pembagian jiwa menurut kaum filosof menjadi tiga kelompok yang terpengaruh oleh ide Plato. Dia menyebutkan juga tiga jenis cinta pada masing-masing kelompok, yaitu[2]:

a. Jiwa langit yang luhur (nafs samawiyah ‘alawiyah); cintanya tertuju pada ilmu pengetahuan, perolehan keutamaan dan kesempurnaan yang memungkinkan bagi manusia, dan usaha menjauhi kehinaan.
b. Jiwa buas yang penuh angkara murka (nafs sab’iyah ghadhbiyah); cintanya tertuju pada pemaksaan , tirani, dan keangkuhan di bumi, kesombongan, dan kepemimpinan atas manusia dengan cara yang batil.
c. Jiwa kebinatangan yang penuh syahwat (nafs hayawaniyah syahwaniyah); cintanya tertuju pada makanan, minuman dan kawin.
Dari kontes pembicaraan Ibnu Qoyyim dapat dipahami bahwa ketiga macam jiwa yang disebutkan diatas bukan berdiri sendiri dan bukan pula berarti jiwa yang tiga, tetapi merupakan tiga daya untuk satu jiwa.

Allah menguji manusia dengan dua jiwa yaitu ammarah, dan lawwamah sebagaimana Dia memuliakannya dengan Muthma’innah, merupakan satu jiwa yang bisa menjadi ammarah dan bisa menjadi lawwamah lalu muthma’innah, yang menjadi puncak kesempurnaan dan kebaikannya.
Lawwamah dibedakan menjadi dua, yaitu[3]:

1. Lawwamah mulawwamah, yaitu jiwa jahaliyah yang zalim dan yang dicela Allah serta para malaikat.
2. Lawwamah ghairu lawwamah, yaitu jiwa yang senantiasa mencela diri sendiri karena keterbatasannya dalam menaati Allah, meskipun sebenarnya dia sudah mengerahkan usaha dan kemampuannya. Yang demikian ini tidak dicela. Jiwa yang paling mulia ialah yang mencela diri sendiri dalam masalah ketaatan kepada Allah dan sabar dalam menghadapi celaan orang-orang yang mencelanya.
 
JIWA DALAM PANDANGAN FILOSOF-FILOSOF YUNANI


Pembahasan mengenai jiwa sudah ada jauh pada zaman Yunani kuno. Pembahasan jiwa pada zaman ini banyak mempengaruhi pembahasan mengenai jiwa pada filosof-filosof selanjutnya, termasuk filosof Islam.

1. Sokrates


Menurut Sokrates, jiwa merupakan wujud ruhani yang lepas (independen), dimana jiwa wujud ruhani itu diabaikan atau ditinggalkan, niscaya akan menimbukan kebodohan dan akan memproduksi pemikiran yang mandul serta rusak. Bahwa manusia itu dapat menghilangkan kebodohan yang menimpa dirinya apabila ia berpikir tentang jiwa. Mengenai jiwa, menurutnya, merupakan pengetahuan yang pertama kali harus dilakukan oleh manusia. Sokrates sendiri meyakini kekekalan jiwa dan kefanaan (rusaknya) jasad. Untuk mempertahankan idenya, Sokrates lebih mengutamakan dihukum daripada kembali mengakui kesalahan pendapatnya, yang ia peroleh setelah menganalisa jiwanya dan jiwa orang lain[4].

2. Plato


Menurut Plato[5], jiwa adalah substansi yang independen dari anggota tubuh, dan hubungan diantara keduanya, yaitu antara jiwa dan jisim bagaikan hubungan antara seorang nakhoda dengan sebuah perahu, dimana nakhoda berfungsi sebagai pengatur jalannya perahu, dan menjaganya ditengah-tengah hembusan gelombang. Jiwa menurutnya berada diantara dua alam, yaitu alam tinggi (alam ide) dan alam bawah, yakni alam rasa. Kedua alam ini pada awalnya adalah menyatu dalam kesatuan. Akan tetapi, setelah alam ide itu jatuh ketanah, mengakibatkan terpecahnya alam tersebut menjadi beberapa bagian. Dia juga mengakui tentang kekekalan jiwa, dengan mengemukakan beberapa bukti. Diantaranya yang paling penting adalah “kehidupan” dan “gerak”. Kehidupan dan gerak inilah yang menjadi dasar dan tabiat jiwa seseorang. Gerak dan kehidupan merupakan kekhususan yang substantive bagi jiwa, dan saat gerak serta kehidupan itu terdapat didalam jasad, maka bermakna; bahwa jasad itu hidup. Dan pada saat itu , jiwa merupakan sumber dari gerak jasad manusia. Sesungguhnya gerak dari jasad itu bukanlah gerak asli, karena fungsi jasad hanya menerima signal dari gerakan jiwa. Sementara gerak dari jiwa manusia bersifat dzati. Dengan demikian, gerak jiwa itu bersifat qadim (lama) dalam makna “kekal”, abadi.

3. Aristoteles


Menurut Aristoteles[6], jiwa merupakan kesempurnaan awal terhadap jasmani alami menuju suatu kehidupan yang memiliki kekuatan. Sandaran tentang defenisinya ini didasarkan atas teorinya sendiri tentang alam, dimana dia membedakan antara materi sesuatu dan bentuknya, serta berdasarkan atas persepsinya tentang alam dan gerak. Semua makhluk hidup memiliki jiwa, tumbuhan, hewan dan manusia. Hubungan jasmani dan jiwa merupakan hubungan antara benda dengan bentuk, atau hubungan antara prime matter dengan form. Jiwa adalah bentuk dari badan, sebagaimana penglihatan merupakan bentuk dari mata. Apabila penglihatan putus dari mata, maka mata tidak disebut dengan mata, kecuali hanya sebuah nama saja, atau bukan merupakan mata yang hakiki, seperti mata sebuah patung.

4. Plotinus

Menurut Plotinus, Jiwa adalah suatu kekuatan ilahiah; jiwa merupakan sumber kekuatan. Alam semesta berada dalam jiwa dunia. Jiwa tidak dapat dibagi secara kuantitatif karena jiwa itu adalah sesuatu yang satu tanpa dapat dibagi. Jiwa adalah identitas dalam varietas. Semua orang berjiwa, tetapi jiwa itu tetap satu yang menyebar. Dalam hal ini, Plotinus memperkenalkan adanya emanasi jiwa. Konsep ini sangat mempengaruhi filosof Islam yang membahas tentang jiwa selanjutnya seperti Al-Hallaj, Al-Farabi, Ibn al’Arabi dan lain-lain. Konsep emanasi Plotinus bermula pada tiga realitas, The One, The Mind, dan The Soul. The One adalah puncak dari semua yang ada. Ini adalah puncak dari dari akal dan jiwa. Menurut Al-Farabi dia adalah penggerak pertama (Aql atau Allah)[8].

Emanasi tidak terjadi dalam ruang dan waktu. Ruang dan waktu terletak pada tingkat yang paling bawah dalam proses emanasi. Ruang dan waktu adalah suatu pengertian dunia benda. Untuk menjadikan alam, soul mula-mula menghamparkan sebagian dari kekekalan-Nya, lalu membungkusnya dengan waktu.


JIWA DALAM PANDANGAN FILOSOF ISLAM

A. AL-KINDI

Jiwa menurut Al-Kindi[9] memiliki kekuatan-kekuatan yang fungsinya bersamaan dengan perasaan dan akal; yaitu otak yang dimiliki oleh setiap yang memiliki kekuatan jiwa. Diantara kekuatan yang ada itu sangat tanggap fungsinya, seperti kekuatan penglihatan, kekuatan pendengaran, kekuatan penciuman, lisan dan segala kekuatan yang terdapat didalam urat syaraf untuk menyentuh. Secara umum dia membagi tiga kekuatan jiwa, yaitu:

1. Al-Qawiyyul Haasah --- yaitu kekuatan yang dapat mengenal segala yang dapat dirasakan dan yang nyata. Kekuatan ini tidak dapat membentuk suatu gambaran, kecuali yang diketahuinya.

2. Al-Qawiyyul Muthaasithah --- yaitu kekuatan yang dapat memberikan kepada kita pengetahuan tentang bentuk (persepsi) sesuatu, tanpa wujud materi. Yakni, setelah hilangnya benda yang dipersepsikan dari panca indra kita. Kekuatan jiwa ini dapat berfungsi, baik pada saat manusia dalam keadaan sadar ataupun dalam keadaan tidak sadar (tidur). Keistimewaan dari kekuatan ini dapat membentuk sebuah persepsi; seperti mempersepsikan tentang sebuah gambar manusia dengan kepala singa. Kekuatan ini juga dapat menghafal atau menyimpan segala bentuk persepsi yang telah diterima.

3. Al-Qawiyyul Qhadhabiyyah --- yaitu kekuatan marah yang dapat menggerakkan urat-urat untuk melakukan perbuatan pelanggaran atau kesalahan, dan termasuk didalamnya adalah kekuatan syahwat. Kekuatan syahwat ini pada dasarnya bukan kekuatan jiwa. Karena, terkadang jiwa melarang terjadinya kekuatan syahwat untuk melakukn sesuatu. Dalam hal ini, jiwa merupakan penghalang kekuatan marah untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang. Karena, pada prinsipnya, tidak ada satu kekuatan yang dapat menentang jiwa.


B. AL-FARABI

Jiwa manusia beserta materi asalnya memancar dari akal Kesepuluh. Jiwa adalah Jauhar rohani sebagai form bagi jasad. Kesatuan keduanya merupakan kesatuan secara accident, artinya masing-masing keduanya mempuyai substansi yang berbeda dan binasanya jasad tidak membawa binasa pada jiwa. Jiwa manusia disebut dengan al-nafs al-nathiqah, berasal dari alam ilahi, sedangkan jasad berasal dari alam khaliq, berbentuk, berupa, berkadar, dan bergerak. Jiwa diciptakan tatkala jasad siap menerimanya.

Menurut Al-Farabi, jiwa manusia mmpunyai daya-daya sebagai berikut:

o Daya al-Muharrikat (gerak), daya ini yang mendorong untuk makan, memelihara, dan berkembang.

o Daya al-Mudrikat (mengetahui), daya ini yang mendorong untuk merasa dan berimajinasi.

o Daya al-Nathiqat (berpikir), daya ini yang mendorong untuk berpikir secara teoritis dan praktis.

C. IBNU SINA


Pembuktian wujud jiwa yang dikemukakan oleh Ibnu Sina merupakan pembuktian yang lebih kuat, jika dibandingkan dengan filosof-filosof sebelumnya yang spekulatif. Pembuktian wujud jiwa ini, Ibnu Sina mengedepankan 4 dalil[11], yaitu:

1. Dalil psiko-fisik


Gerak terbagi menjadi dua macam yaitu gerak terpaksa timbul dari dorongan unsur luar yang mengenai suatu benda tertentu lalu menggerakkannya. Selanjutnya gerak kedua yang bukan paksaaan, yang terbagi menjadi dua macam, yaitu:

ü Gerak yang terjadi sesuai dengan hukum alam, seperti jatuhnya batu dari atas ke bawah.

ü Gerak yang menentang hukum alam, seperti manusia yang berjalan diatas muka bumi sedang berat badannya seharusnya membuat manusia itu tidak bergrak. Atau juga burung yang mengepak di udara sehingga ia tidak jatuh kebumi. Gerak yang menentang hukum alam ini tentu ada penggerak khusus yang ada diluar unsur tubuh manusia yang digerakkannya, dialah jiwa.

2. Dalil aku dan kesatuan fenomena kejiwaan


Apabila seseorang membicarakan pribadinya atau ketika berbicara dengan orang lain, maka yang dimaksudkan adalah jiwanya bukan tubuhnya. Ketika anda mengatakan: saya akan keluar atau saya akan tidur, maka bukan gerak kaki atau pemejaman mata yang dimaksudkan melainkan seluruh pribadi anda.

Pandangan semacam ini oleh Ibnu Sina disusun dengan kata-kata sebagai berikut: “Bahwa apabila manusia berbicara tentang dirinya mengenai suatu masalah, maka ia akan menghadirkan pribadinya hingga ia mengatakan: saya melakukan ini dan melakukan itu. Dalam keadaan demikian ia tidak teringat semua akan bagian-bagian badannya. Apa yang diketahui dengan nyata (makudnya = jiwa) lain dari suatu yang tidak diingatnya (maksudnya anggota badan). Jadi pribadi seseorang berlainan dengan badannya”

3. Dalil kelangsungan (kontinuitas)


Ibnu Sina menerangkan bahwa pada masa kini terkandung masa lampau dan menyiapkan masa yang akan datang. Kehidupan rohani pada hari ini berkaitan dengan hidup kita di hari kemarin tanpa ada tidur atau kekosongan/terputus dalam rangkaiannya. Hidup ini bergerak dan berubah, maka gerakan-gerakan perubahan itu bertalian satu sama lain dan berantai-rantai. Sambung-menyambung dan bertalian ini tiada lain kecuali karena ihwal psikologis itu merupakan limpahan yang mengalir dari sumber yang satu dan beredar pada lingkaran yang mempunyai daya tarik yang tetap.

Kelangsungan khidupan pikiran dari pertalian pikiran satu sama lain, sebagaimana yang ditetapkan oleh Ibnu Sina, sama dengan hasil pemikiran tokoh-tokoh pikir modern seperti William James dan Bergson, dimana kedua-duanya menganggap kelangsungan dan pertalian pikiran-pikiran sebagai ciri yang paling khas dari gejala-gejala kejiwaan, dan merupakan dalil yag terbesar tentang wujud diri (aku) atau pribadi. Menurut kedua tokoh trsebut, arus pikiran tidak mengenal diam atau pemisahan atau terputus, melainkan selamanya gerak yang kontinu itu bersambung dan berangkai satu sama lain.


4. Dalil manusia terbang atau manusia melayang-layang di udara.

Ibnu Sina mengatakan bahwa: ”andaikan ada seorang lahir dengan dibekali kekuatan akal dan jasmani yang sempurna, kemudian ia menutup matanya sehingga tak dapat melihat samasekali apa yang ada disekelilingnya, kemudian ia diletakkan di udara atau dalam kekosongan, sehingga ia tidak merasakan sesuatu persentuhan atau bentrokan atau perlawanan, dan anggota-anggota badannya diatur sedemikian rupa, sehingga tidak saling bersentuhan atau bertemu. Meskipun semua ini terjadi, namun orang tersebut tidak akan ragi-ragu bahwa dirinya itu ada, sekalipu ia sukar dapat menetapkan wujud salah satu bagian badannya. Bahkan ia boleh jadi tidak mempunyai pikiran sama sekali tentang badan, sedang wujud yang digambarkannya adalah wujud yang tidak mempunyai tempat, atau panjang lebar dan dalam (tiga dimensi). Kalau pada saat tersebut ia menghayalkan (memperkirakan) ada tangan atau kaki, maka ia tidak akan mengira bahwa itu tangannya atau kakinya. Dengan demikian, maka penetapan tentang wujud dirinya tidak timbul dari indera atau melalui badan seluruhnya, melainkan dari sumber lain yang berbeda sama sekali dengan badan yaitu jiwa”.


D. IBNU RUSYD

Ibnu Rusyd mendefenisikan jiwa sebagai suatu kesempurnaan awal bagi tubuh yang bersifat alamiah dan mekanistik. Defenisi ini sama dengan defenisi dari Aristotels dan seluruh filosof Muslim terdahulu.

Dia mengatakan bahwa, jiwa merupakan kesempurnaan awal untuk membedakannya dengan kesempurnan-kesempurnaan yang lain yang berasal dari kumpulan perilaku dan emosi yang mengikuti kesempurnaan awal dan bersumber pada dirinya. Makna kesempurnaan yang berbeda-beda ini sesuai dengan keragaman bagian-bagian jiwa, semisal jiwa nutrisi atau jiwa tumbuh-tumbuhan, jiwa sensorik (indera), jiwa khayalan, jiwa hasrat, jiwa rasional. Daya-daya itu tidak saja berbeda dari segi tindakan tetapi berbeda juga dari segi topiknya.


JIWA DALAM PANDANGAN AHLI TASAWWUF (SUFI)


A. Defenisi Jiwa

Defenisi jiwa menurut para sufi sangat beragam, tergantung dimana dia berada dan zaman yang ada pada waktu itu. Misal defenisi dari[13]:

1. Abu Yazid Al-Bustami --- Seseorang tidak akan mengenal jiwanya jika dirinya ditemani oleh syahwat.
2. Al Kharraz --- Jiwa itu diumpamakan air yang tergenang, suci dan bersih. Jika air itu digerakkan, maka akan tampak kotoran yang terdapat dibagian dasar air.
3. Al-Junaid --- Sesungguhnya jiwa apabila meminta sesuatu kepadamu, maka ia akan memaksamu, terus menuntut sampai kapanpun, dan sampai berhasil. Kecuali jika jiwa itu tetap berada didalam Almujahadah, sampai jiwa itu terbiasa dengan kejujuran dan Al Mujahadah itu.
4. At-Tirmidzi --- Jiwa merupakan bumi syahwat, cenderung kepada syahwat setelah melakukan syahwat, dan harapan setelah melakukan harapan. Jiwa tidak pernah tenang dan diam, perbuatan-perbuatannya selalu berbeda, dimana yang satu dengan perbuatan yang lainnya sama sekali tidak mengandung kesamaan. Pada suatu saat bersifat ‘ubudiyah, pada saat lain berupa rububiyah, dan pada saat yang lain berlagak menyerah, pada suatu saat bersifat ingin memiliki. Pada suatu saat bersifat lemah dan disaat lain memiliki kekuatan. Namun demikian, jika jiwa itu dilatih, niscaya akan dapat diarahkan

5. At-Tustari --- Mempergunakan istilah An Nafs (jiwa) sebagai zat batin manusia, tanpa harus mengaitkannya dengan tabiat yang rendah. Namun demikian, At-Tustari tetap membedakan antara jiwa dengan makna ruh yang tinggi. Jelasnya, jiwa selalu berorientasi untuk menetapkan zat dirinya dan bersifat egois. Sementara ruh secara alami selalu berorientasi untuk pasrah kepada Allah SWT.

B. Sifat dan Karakter

Sebagian dari kaum sufi ada yang membagi jiwa menjadi empat bagian[14], yaitu:

1. Jiwa yang memiliki sifat Ar rububiyah, seperti keagungan, pemaksaan, senang terhadap pujian, kemuliaan, kekayaan dan sebagainya.

2. Jiwa yang memilki muatan setan; seperti penipu, selalu mencari-cari kesalahan orang lain, hasud, buruk sangka dan sebagainya.

3. Jiwa yang memiliki muatan sifat binatang; seperti suka makan, minum, suka kawin dan sebagainya.

4. Jiwa yang mmiliki muatan sifat ‘ubudiyah; seperti rasa takut, tawadhu’, rendah hati dan sebagainya.

Menurut kaum sufi, seorang murid belum dapat dikatakan telah berubah jiwanya, sebelum dirinya merubah muatan sifat Ar Rububiyah menjadi muatan sifat Al-Ubudiyah. Sehingga dapat merubah akhlak setan menjadi akhlak orang-orang yang beriman, dan merubah tabiat binatang menjadi tabiat ahli ruhani; seperti selalu berzikir dan menuntut ilmu pengetahuan.

HUBUNGAN PEMBAHASAN JIWA ANTARA FILOSOF, SUFI DAN PSIKOLOGI KONTEMPORER

Pembahasan mengenai jiwa dalam menurut Filosof Yunani sangat mempengaruhi defenisi dan arah pembahasan jiwa oleh filosof Muslim kemudian. Tapi walaupun demikian, filosof muslim muncul dengan ciri khas tertentu yang mengkomparasikan antara filsafat Yunani dan Al-Qur’an. Pembahan jiwa filsosof muslim, masih banyak relevansinya dengan perkembangan jiwa dalam psikologi kontemporer. Kita contohkan pendapat Ibnu Sina yang banyak mempengaruhi pemikiran William James tentang jiwa.

Jika ditelaah lebih dalam mengenai kehidupan kaum sufi, metode yang digunakan dalam memahami kelainan kejiwaan seseorang, maka akan ditemukan bahwa kaum sufi telah mendahului psikolog didalam memahami neurose-neurose kejiwaan, yakni rahasia-rahasia kejiwaan, sebab-sebab dan konflik-konfliknya.

Disadari oleh para peniliti[15], bahwa kaum sufi memang telah lebih awal didalam memahami psikologi, melalui kajian tasawwuf dimana mereka mempergunakan metode “Al Isthibhan” (instropeksi) atau dengan mempergunakan metode “Renungan Zat” didalam upaya memahami perasaan. Ternyata kaum sufi tidak hanya puas dengan satu kejiwaan saja, akan tetapi lebih jauh dari itu sehingga kajian mereka dapat mendatangkan kekaguman. Dalam hal ini kaum sufi mampu untuk mengetahui isi yang terkandung didalam jiwa manusia. Kaum sufi memahami benar apa yang disebut dengan insting-insting manusia yang bersifat umum, atau yang disebut oleh mereka dengan kata “syahwat”.

Seorang filosof Modern Emile Burto menyatakan kekagumannya terhadap kaum sufi, dimana mereka dinilai sebagai peneliti dan ahli jiwa. Khususnya didalam mempergunakan metode “Renungan Dzat”. Menurut Burto: “Sesungguhnya kaum sufi adalah psikolog-psikolog besar, dimana mereka selalu merenungi kehidupan batin manusia dan itulah memang pekerjaan mereka. Dari itu, satu hal yang harus diperhatikan tentang apa yang telah dicapai oleh mereka dalam kajian tentang kejiwaan, dari pada meeka harus dituduh sebagai orang-orang yang sakit jiwa”.

Daftar Pustaka
An-Najjar, Amir. 2004. Ilmu Jiwa dalam Tasawwuf. Jakarta : Pustaka Azzam
Najati, Muhammad Utsman. 2002. Jiwa dalam Pandangan para Filosof Muslim. Bandung : Pustaka Hidayah
Al-Jauziyah. 2007. Roh. Jakarta : Al-Kautsar
Tafsir, Ahmad. 2007. Filsafat Umum. Bandung : Rosdakarya
Zar, Sirajuddin. 2004. Filsafat Islam. Jakarta : Raja Grafindo
Mustofa. 2007. Filsafat Islam. Bandung : Pustaka Setia

[1] Ibnu Qayyim Al Jauziyah.2007. Roh. Hal 341
[2] Dr Muhammad ‘Ustman Najati. Jiwa dalam Pandangan para Filosof Muslim. Hal 361
[3] Op Cit Hal 350
[4] Amir An-Najar.2004. Ilmu Jiwa dalam Tasawwuf. Hal 22
[5] Ibid. Hal 23
[6] Ibid. Hal 29-30
[7] Ahmad Tafsir. 2007. Filsafat Umum. Hal 72
[8] Lihat H. Sirajuddin.2007.Filsafat Islam. Hal 74
[9] Op Cit. Hal 34-35
[10] Akal kesepuluh adalah teori yang mendapat pengaruh dari Plotinus tentang Emanasi. Lihat Filsafat Islam oleh Prof. Dr H.Sirajuddin Zar, MA. Hal 87
[11] Dalam Filsafat Islam oleh Drs H. A.Mustafa. Hal 203
[12] Op Cit. Hal 296
[13] Op Cit. Hal 39
[14] Ibid. Hal 42
[15] Dalam Ibid. Hal 313

Ardi al-Maqassary

"Aku melihat, diujung sana, ada setitik cahaya yang terang benderang. Akan kuraih cahaya itu, dan membagikannya kepada seluruh manusia!!!"

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال